Oleh Seyyed Hossein Nasr
Pengembaraan di jalan menuju Taman Kebenaran memerlukan bukan hanya pencapaian dan perwujudan pengetahuan pemersatu, melainkan juga keterbenaman di dalam cinta dan ketertarikan pada keindahan di tingkat tertingginya. Allah telah menjadikan mungkin bagi kita manusia untuk dapat meraih-Nya tidak hanya melalui pengetahuan tetapi juga melalui cinta dan keindahan. Taman itu adalah Taman Kebenaran, sekaligus juga Taman Cinta, yang Keindahannya melebihi dan melampaui semua yang dapat kita bayangkan atau telah kita alami sebagai sesuatu yang menyenangkan dan indah di bumi ini. Tukang Kebunnya juga sang Kekasih, yang tidak hanya harus diketahui, tetapi juga dicintai dan direnungkan dalam keindahannya yang tak berhingga, yang membakar penonton dan menggiring kepada ekstasi penyatuan serta kedamaian puncak. Laki-laki dan perempuan mengalami berbagai macam cinta dan menyaksikan banyak objek yang indah dalam kehidupan di bawah sini, tetapi kebanyakan tidak mencapai Taman Kebenaran melalui pengalaman seperti itu. Oleh karena itu kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah cinta dan keindahan dalam konteks Tasauf dan mengapa kaum Sufi, yang begitu menekankan pengetahuan prinsipal dan mencerahkan, sangat sering berbicara tentang cinta dan keindahan, yang saling terkait tanpa terpisahkan satu sama lain.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting untuk mencuplik hadis qudsi dari Nabi mengenai hubungan antara pengetahuan dan cinta:
Dia yang mencari-Ku akan menemukan-Ku.
Dia yang menemukan-Ku akan mengetahui-Ku.
Dia yang mengetahui-Ku akan mencintai-Ku.
Dia yang mencintai-Ku, akan Aku cintai.
Dia yang Kucintai, akan Aku tebas.
Dia yang Kutebas, akan Aku tebus.
Dia yang Kutebus, Diriku sendirilah penebusnya.
Jalan menuju Kebenaran menghasilkan penemuan Kebenaran, yang berarti pengetahuan mengenai-Nya. Lebih jauh lagi, Kebenaran itu sedemikian sehingga orang tidak dapat mengetahui-Nya tanpa mencintai-Nya. Dan cinta itu akhirnya mengantarkan ke dalam rengkuhan Allah, yang pada gilirannya mencintai orang-orang di antara hamba-hamba-Nya yang mencintai Dia. Akan tetapi, dalam pengertian metafisik, cinta Allah mendahulu cinta manusia, seperti yang akan kita tinjau di bawah ini.
HAKIKAT CINTA
Apa gunanya menulis tentang cinta? Orang harus mengalami cinta agar dapat memahami apa itu cinta. Seperti dikatakan Rūmī, ketika harus menjelaskan hakikat cinta, pena patah dan tak kuasa menulis. Namun demikian, meskipun berhadapan dengan kata-kata dan konsep, menulis tentang cinta dapat membangkitkan kesadaran tertentu dalam pikiran dan jiwa pembaca, yang pada gilirannya dapat membuatnya siap untuk mengalami cinta pada beberapa tingkat. Tapi cinta itu sendiri tidak dapat direduksi ke dalam deskripsinya meskipun amat jelas dan puitis, sementara pada saat yang sama kata-kata yang berasal dari orang-orang yang benar-benar telah mencinta dapat menghadirkan ingatan dan membangkitkan di dalam diri sebagian orang cinta yang tersimpan di dalam jiwa semua manusia laki-laki dan perempuan. Api cinta dapat dinyalakan melalui kata-kata yang tepat jika substansi jiwa siap untuk terbakar dalam api cinta, yang tanpanya hidup yang menjadi kehilangan nilai, karena sekali lagi mengutip Rumi: “Barangsiapa tidak memiliki api ini, hendaklah ia tidak ada.”3
Mari kita mulai dengan metafisika cinta. Cinta adalah sebagian dan sepenggal dari kenyataan. Cintalah yang menarik wujud kepada satu sama lain dan kepada Sumber mereka. Cinta tak lain adalah api yang nyalanya menerangi dan yang panasnya menghidupkan hati dan menganugerahkan kehidupan. Ia juga badai yang dapat menjungkirbalikkan jiwa dan menumbangkan keberadaan yang biasa. Cinta adalah kehidupan tetapi bisa pula kematian. Ia mencakup kerinduan dan pedih keterpisahan serta gairah penyatuan. Cinta juga tak terpisahkan dari keberadaan dalam berbagai bentuknya. Bukan hanya dalam Kekristenan Allah dianggap cinta, menurut Al-Quran salah satu dari Nama-Nya adalah Cinta atau al-Wadūd. Dan karena cinta adalah bagian dari Hakikat Ilahi, semua keberadaan, yang memancar dari-Nya, dijalari oleh cinta. Allah adalah cahaya langit dan bumi, seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran. Kecerahan cahaya ini berkaitan dengan pengetahuan dan kehangatannya dengan cinta.
Tidak ada ranah eksistensi tanpa cinta ada di dalamnya, kecuali jika dilihat dari sudut pandang tertentu pada tingkatan manusiawi, karena Allah telah memberi kita kehendak bebas untuk mencinta atau tidak; namun demikian, bahkan pada tatanan manusiawi dapat dikatakan bahwa bahkan orang-orang yang tidak mencintai Allah atau tetangga mereka masih mencintai dirinya sendiri. Sejauh menyangkut kosmos, cinta dapat dilihat di mana-mana andai saja kita sadar akan realitasnya. Cabang-cabang pohon tumbuh ke arah cahaya karena cinta, dan hewan-hewan menyayangi anak-anak mereka sebagai akibat dari cinta. Bahkan langit bergerak karena kekuatan cinta, yang kita reduksi menjadi sekadar fisika dan kuantitatif, dan kita sebut gravitasi. Seperti yang ditulis Dante pada bagian paling akhir dari Divine Comedy, kesatuan rohani tertinggi melibatkan pengalaman dan realisasi dari “l’amor che move il sole e l’altre stelle,” yaitu, “cinta yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang lainnya.”
Cinta mengalir di dalam nadi alam semesta, demikian pula rahmat, dan kita sebagai manusia dapat dan benar-benar mencinta, objek cinta kita mulai dari makhluk duniawi, terutama seseorang, hingga Allah itu sendiri. Tetapi seperti yang telah disebutkan, pada kenyataannya cinta berasal Allah dan tidak bersama kita. Dalam dua perintah dasarnya Kristus meminta para pengikutnya untuk mencintai Allah yang mencintai makhluknya dan mencintai tetangga. Al-Quran menyediakan dasar metafisikal untuk cinta ini dengan menegaskan bahwa Allah akan membawa orang-orang “yang Dia cintai dan mereka mencintai-Nya” (QS Al-Mâ’idah [5]:54). Ayat ini, yang telah berkali-kali dikutip oleh tulisan-tulisan Sufi mengenai cinta, makin menjelaskan bahwa pertama-tama Allah mencintai makhluk-Nya, dan sebagai konsekuensi dari cinta kita bisa mencintai-Nya. Selain itu, seperti yang dinyatakan dua perintah Kristus, cinta Allah memiliki kedudukan lebih tinggi daripada cinta tetangga, yang berarti semua makhluk dan bukan hanya manusia.
Karena itu, dari sudut pandang manusia, ada tahap-tahap cinta yang dipahami secara metafisikal dan seperti yang dijelaskan oleh kaum Sufi. Yang pertama-tama adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri dan kemudian Cinta-Nya untuk makhluk-Nya, termasuk kita, yang sebagai akibatnya cinta menjalari inti substansi makhluk di semua tingkat eksistensi. Kemudian, ada cinta kita kepada Yang Ilahi, dan akhirnya ada cinta kita kepada makhluk-makhluk lain, yang menurut mereka yang percaya diturunkan dari cinta kepada Allah. Pemahaman spiritual tentang cinta ini karenanya mentransendensi cinta ego pada dirinya sendiri, cinta palsu yang telah menjadi lumrah pada kebanyakan laki-laki dan perempuan. Hanya melalui hirarki ini dan hubungan di antara berbagai tingkatannya kekuatan spiritual dan transformatif cinta, yang bahkan dapat mengubah cinta ego pada dirinya sendiri menjadi cinta kepada Allah dan yang lainnya, dapat dimengerti. Tetapi ada unsur lain yang lebih halus yang melibatkan instrumen serta kandungan wahyu yang mengikatkan kita kepada Allah. Bisakah seseorang mencintai Allah sebagai seorang Kristen tanpa mencintai Kristus? Jawabannya cukup jelas. Kebenaran yang sama berlaku bagi Islam, di mana cinta kepada Nabi merupakan prasyarat bagi cinta kepada Allah. Kebenaran ini dirangkum sebagai berikut: untuk mencintai Allah, Dia harus terlebih dahulu mencintai kita, dan Allah tidak mencintai orang yang tidak mencintai Nabi atau rasul-Nya dan risalahnya.
Karena cinta berasal dari Allah dan memancar dari-Nya, cinta sejati di dunia ini pada akhirnya tidak lain daripada cinta kepada Allah. Orang-orang Kristen awal berbicara tentang agape dan eros untuk membedakan cinta Tuhan dan manusia atau kosmik, dan pembedaan ini masih penting dalam banyak teologi Kristen, terutama teologi Katolik. Kaum Sufi mengambil rute yang berbeda. Mereka tidak menggariskan perbedaan yang tajam antara agape dan eros, memandang yang kedua sebagai bayangan dan juga tangga menuju yang pertama. Sebaliknya, mereka berbicara tentang cinta sejati (al-‘isyq al-haqīqī), yaitu cinta manusia bagi Allah, dan cinta metaforis (al-‘isyq al-majāzī), yang meliputi segala bentuk cinta yang kelihatannya berada di luar dan bebas dari ikatan cinta antara Allah dan manusia. Menurut pandangan ini, sebagian besar dari apa yang kita anggap sebagai cinta bukanlah cinta yang sejati sama sekali melainkan cinta hanya dalam pengertian kiasan. Selain itu, terdapat satu hierarki lagi dalam cinta yang dimulai dari berbagai tingkatan cinta metaforis hingga cinta sejati, yang selalu melibatkan Allah dan dapat mencakup cinta pada seseorang atau sesuatu, tetapi di dalam Allah. Namun bahkan cinta metaforis adalah kilau dari cinta sejati karena akhirnya hanya ada satu Cinta dengan banyak tingkatan manifestasi.
Kaum Sufi juga berbicara tentang bentuk lain gradasi dan hierarki cinta. Mereka memulai dengan kondisi manusia biasa dan berakhir dengan keadaan orang-orang suci. Keadaan cinta terendah dari sudut pandang ini adalah cinta ego atau cinta diri atau cinta untuk dirinya sendiri. Ini masih cinta, tetapi karena sifatnya memenjarakan objeknya, cinta itu melumpuhkan dan menghalangi pertumbuhan jiwa dan kemungkinan baginya untuk mencapai tingkatan cinta yang lebih tinggi. Kemudian ada cinta kepada yang lain, entah itu manusia, hewan, atau benda-benda seperti tanaman, mineral, dan juga artefak bikinan manusia, terutama karya-karya seni. Tetapi tingkat cinta ini masih terbatas dan berhingga serta dalam banyak kasus bersifat sementara. Sering kali ia menimbulkan keterikatan pada dunia sehingga menghalangi jiwa dari mengalami tingkat cinta yang lebih tinggi, yang secara paradoks juga melibatkan keterlepasan dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Kemudian ada cinta untuk realitas suci, mencakup para nabi, kitab-kitab yang diwahyukan, orang-orang suci, seni yang suci, dan sebagainya, yang datang dari Allah, mengarahkan jiwa kepada-Nya, asalkan manusia tetap sadar akan Sumber dari semua yang suci. Akhirnya, ada cinta kepada Allah, yang Suci adanya, yang tak berbatas dan membebaskan bukannya mengikat karena objek dari cinta ini adalah yang Tak Berbatas. Cinta tingkat tertinggi adalah cinta Allah untuk diri-Nya sendiri, dan inilah Cinta yang membuat semua bentuk cinta lain menjadi mungkin. Bahkan, segala bentuk cinta merupakan pantulan, meskipun sangat samar, dari cinta tertinggi ini.
Dari sudut pandang spiritual semua tingkatan yang disebutkan di atas bisa positif, dan masing-masing tingkat yang lebih rendah dapat mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi alih-alih bersifat membatasi. Cinta pada diri sendiri dapat membuka kesadaran tentang sifat ego yang mudah mengelabui dan cepat berlalu dari ingatan serta efeknya yang memenjara, mengarahkan seseorang kepada pencarian akan dirinya yang lebih tinggi. Cinta pada yang lain dapat mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan serta membantu jiwa untuk mencari cinta yang tidak pernah binasa. Cinta pada alam dapat menimbulkan rasa ingin tahu akan hikmat Allah dan cinta kepada Pencipta makhluk-makhluk yang menjadi objek kecintaan kita. Adapun cinta pada objek-objek suci, teofani dan yang sejenisnya, hampir selalu mengantarkan kepada cinta kepada Wujud Yang merupakan sumber dari karunia dan keindahan yang hadir di dalamnya. Hierarki cinta dengan demikian dapat dipandang sebagai tangga pendakian menuju Kerajaan Langit dan sebagai deskripsi tentang keterbatasan dan pemenjaraan yang lebih besar atas jiwa saat seseorang saat ia turun ke tingkatan yang lebih rendah dari hierarki tersebut.
SIGNIFIKANSI SPIRITUAL CINTA MANUSIA
Mencintai dengan sungguh-sungguh berarti hidup dengan sungguh-sungguh, dan orang yang menjalani kehidupan tanpa cinta belum benar-benar menjalani kehidupan manusia dengan sepenuhnya. Keyakinan para Sufi ini menunjuk pada kebenaran penting bahwa cinta bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan, melainkan juga memainkan peran spiritual yang sangat penting dalam perkembangan batin kita. Seperti yang telah disebutkan, kekuatan cinta bersifat transformatif. Ia memiliki efek alkemis pada jiwa dan dapat mengubah substansi jiwa itu sendiri. Perkawinan alkemis antara raksa dan belerang yang menghasilkan berbagai substansi konkret (menurut alkemi) melambangkan transformasi batin yang dihasilkan oleh rangkulan cinta terhadap jiwa, memungkinkannya meraih kesatuan dengan Roh dalam cara yang konkret.
Seorang manusia dapat mengalami berbagai bentuk cinta. Kita bisa mencintai orang tua kita, anak-anak dan kerabat kita. Kita bisa mencintai kota, negara, dan budaya kita. Ada cinta pada alam dan seni. Ada cinta pada agama dan hal-hal yang suci, semua mengarah kepada cinta Tuhan. Semua bentuk cinta ini membawa seseorang keluar melampaui egonya, melakukan pengorbanan dan menderita, memberi dan memberi lagi. Juga semua bentuk cinta merupakan pertanda hasrat jiwa yang mendalam akan cinta murni yang bersifat ilahiah. Tetapi ada satu jenis cinta yang paling kuat pada tataran manusia—dan tentu saja tidak dalam kaitannya dengan Tuhan—dan itu adalah cinta lelaki untuk perempuan atau cinta perempuan untuk laki-laki. Cinta konjugal dan romantis adalah ranah ujian bagi pertumbuhan jiwa secara emosional dan spiritual, dan ini terkait langsung dengan cinta dan pada akhirnya kesatuan antara jiwa dan Roh. Pernyataan ini tentu saja tidak menghapuskan kemungkinan keterlepasan dari cinta seperti itu demi Allah, seperti yang kita lihat dalam tindakan membujang yang dipraktekkan agama-agama tertentu.
Cinta yang sejati dan otentik dalam pengertian romantis, dan bukan ketertarikan seksual semata, merupakan sebentuk rahmat dan karunia dari Langit. Ia menghunjam ke dalam jiwa kita seperti badai yang kuat, menumbangkan keterikatan dan kebiasaan kita yang lama. Mencabut akar-akar jiwa kita dari ranah kepuasan diri dan egoisme. Menyebabkan sukacita sekaligus derita, kegairahan serta kerinduan. Melepaskan jiwa dari semua pertalian dengan yang lain dan mengikatkannya pada objek kecintaannya, bahkan mengatasi pikiran yang terserak-serak dan memusatkannya pada satu objek itu saja. Sifat kemutlakan cinta kepada Allah tercermin dalam cinta manusia yang seperti itu, yang memerlukan peluruhan seluruh sikap mementingkan diri sendiri dan memberi tanpa batas. Cinta seperti itu, jika otentik, tidak akan berkurang tatkala yang dicintai menjadi kurang cantik secara lahiriah dan kehilangan daya tarik lahiriahnya, sebab objek dari cinta itu adalah sosoknya dan bukan atributnya, yang mungkin menyenangkan hati pecintanya pada satu momen dan tidak demikian pada momen lainnya. Itulah sebabnya cinta romantis yang otentik bertumbuh bukannya berkurang sering berjalannya waktu. Cinta seperti itu adalah karunia dari Allah kepada makhluk-Nya, yang Dia ciptakan berpasang-pasangan, seperti yang ditegaskan Al-Quran, dan cinta ini dalam pengertian terdalamnya tidak dapat dipisahkan dari cinta kepada Allah dan cinta Allah kepada kita. Inilah arti penting spiritual dari cinta manusia.
Dimensi seksual dari cinta itu sendiri penuh dengan signifikansi spiritual. Kesatuan seksual adalah cerminan duniawi atas prototipe surgawi. Laki-laki mengalami yang Tak Terbatas dan perempuan mengalami yang Mutlak di dalam kesatuan duniawi ini, yang mengembalikan, meski untuk sejenak, manusia ke dalam keutuhan androginik. Kebahagiaan kesatuan seksual juga merupakan pendahuluan dari kebahagiaan kesatuan jiwa dengan Roh, seperti yang dibicarakan oleh Hermetisisme Kristen serta beberapa mazhab mistisisme Kristen lainnya. Seperti disebutkan di atas, jiwa tentunya dapat menarik diri dari pesona duniawi ini melalui sikap zuhud demi mencari perkawinan langsung dengan Roh, seperti yang kita lihat dalam monastisisme dan berbagai bentuk spiritualitas Kristen, namun kesatuan seksual tetap penting secara rohani, khususnya dalam Tasauf yang, seperti Islam selebihnya, memandang seksualitas sebagai kenyataan sakral, sehingga harus diatur oleh Hukum Suci, bukan sebagai perbuatan dosa semata yang hanya berasal dari kejatuhannya dari surga. Kesatuan seksual dapat mengantarkan kepada pengalaman fanā’ atau anihilasi dan karenanya kebebasan, betapa pun sejenak, dari belenggau keberadaan yang terpisah dan keterbatasan kesadaran sehari-hari. Dari sudut pandang Sufi, dorongan ke arah kesatuan seksual, yang merupakan dorongan sensual yang paling kuat di dalam sebagian besar manusia, pada kenyataannya merupakan pencarian jiwa akan kesatuan dengan Allah, terutama ketika kesatuan manusia digabungkan dengan cinta. Setiap kekasih pada akhirnya merupakan pantulan dari Sang Kekasih atau ma’syūq, sebagaimana dikatakan para Sufi, yang tak lain adalah Allah di dalam kenyataan batin-Nya, kenyataan yang sering dirujuk kaum Sufi dalam bentuk feminin. Zat Allah disebut Al-Dzāt dalam bahasa Arab, dan itu secara gramatikal bergender feminin. Dipandang sebagai Kekasih, dimensi batin dari yang Ilahi adalah Keindahan feminin yang dirindukan oleh jiwa lelaki. Namun dalam aspek-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara ciptaan, Allah dianggap maskulin. Dari sudut pandang metafisika murni, Allah tentu saja di atas mengatasi perbedaan lelaki-perempuan dalam cara yang sama seperti dalam doktrin-doktrin Timur Jauh Tao tertinggi mentransendensi dualisme yin dan yang.
Al-Quran menggunakan kata-kata yang berasal dari akar hubb ketika merujuk kepada cinta. Kaum Sufi juga menggunakan istilah seperti itu, tetapi mereka menambahkan ke istilah ‘isyq, yang menyiratkan cinta yang intens, dan mereka mengklaim bahwa Al-Quran, sebagai kitab suci, tidak menggunakan istilah ini lantaran keekstreman dan intensitasnya. Kata ‘isyq, menurut sumber-sumber tradisional, diturunkan dari nama untuk tanaman anggur yang melilitkan dirinya ke seputar sebatang pohon dan menekan begitu keras pada batangnya sehingga pohon itu mati. Etimologi puitis ini merujuk kepada kebenaran yang mendalam bahwa cinta melibatkan kematian. Seperti dikatakan Rūmī, “sang Kekasih hidup dan sang pecinta mati.” Di sini kita teringatkan pada “Nyanyian Cinta-Kematian” (Liebestod) dalam opera Wagner yang terkenal, Tristan und Isolde.
Kisah cinta yang hebat biasanya berakhir dalam kematian, seperti yang kita lihat misalnya dalam kisah-kisah literatur Barat seperti Tristan dan Isolde serta Romeo dan Juliet. Kematian mereka tampak dari luar seperti berkaitan dengan kekuatan dan keadaan lahiriah tetapi secara batiniah menunjukkan hubungan antara cinta yang intens dengan kematian. Dikatakan bahwa untuk setiap lelaki ada seorang perempuan—dan sebaliknya—yang merupakan pasangan pelengkap sedemikian sempurna sehingga ketika keduanya bertemu di bumi intensitas cinta mereka akan menyebabkan mereka mati. Cinta manusia bahkan yang berada di bawah tahap ekstrem ini selalu bercampur dengan beberapa derajat kematian—kematian terhadap ego sendiri, terhadap hasrat sendiri, terhadap kesenangan-kesenarangan sendiri demi kepentingan yang lain. Dan ini disebabkan cinta manusia itu sendiri merupakan pantulan dari Cinta Tuhan, yang bisa kita alami hanya setelah kematian ego kita, dan dapat mengantarkan kepada Tuhan jiwa-jiwa mereka yang cukup beruntung untuk mengalami cinta ini. Itulah sebabnya pula mengapa kisah-kisah cinta legendaris tampak dari luar seperti menyangkut cinta manusia dan dari dalam menyangkut cinta untuk Tuhan dan dari Tuhan dan karena itu sering berakhir dengan kematian sang pahlawan lelaki atau perempuan atau keduanya.
Ada begitu banyak dongeng dalam Tasauf , dan mungkin yang paling terkenal adalah kisah Laylā dan Majnūn. Cerita aslinya, yang memiliki banyak versi yang lebih baru, sederhana saja. Seorang pemuda Arab Badui bernama Qays bertemu Laylā dalam perkumpulan para wanita. Pertemuan ini berbekas begitu mendalam padanya. Ia jatuh cinta dengannya dan mengorbankan untanya untuk pesta itu. Ketika seorang lelaki bernama Manāzil datang ke pertemuan itu, perhatian semua perempuan kecuali Laylā terarah kepadanya, yang membalas cinta Qays kepadanya. Qays kemudian meminta dia dari tangan ayahnya, tetapi ayahnya menolak, mengatakan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan orang lain. Dalam derita dan kesedihan mendalam, Qays kehilangan akal dan pikiran lalu mengembara di padang gurun setengah telanjang, hidup bersama binatang liar. Julukan Majnūn, yang berarti tergila-gila atau gila, yang kemudian disematkan untuknya, muncul akibat perilaku ini. Ayah Qays membawa berziarah ke Makkah dengan harapan bahwa ia akan sembuh, tapi pengalaman ini hanya kian menguatkan cintanya pada Laylā. Ketika sadar, Majnūn menggubah beberapa puisi mengungkapkan cintanya kepada Laylā, tetapi ia hanya bertemu dengannya satu kali lagi sebelum kematiannya.
Atas dasar puisi anonim ini, banyak versi prosa ditulis. Kisah ini menjadi terkenal dalam sastra Arab dan kemudian menjadi bagian dari tradisi sastra Persia. Barangkali adikarya terbesar yang didasarkan pada cerita ini, tetapi dengan sangat panjang lebar, adalah karya penyair Persia abad kedua belas Nizhāmī, yang mengubahnya menjadi salah satu adikarya puisi liris Persia. Sufi seperti Ahmad Ghazzālī, Attār, dan Rūmī mengubah cerita ini menjadi adalah contoh cinta Allah dan manusia sebagaimana yang dipahami dalam Tasauf. Amīr Khusraw, penyair terkemuka Persia abad keempat belas dari India, juga menyusun sebuah karya berjudul Laylī dan Majnūn (Laylī sebagai versi Persia dari Laylā) dan mendedikasikannya untuk Nizhām al-Awliyā’, orang suci Delhi yang terkenal. Selain itu, Sufi penyair abad kelima belas Jāmī menyusun sebuah karya besar dengan judul ini. Kisah Laylā dan Majnūn menjadi terkenal bukan hanya dalam sastra Arab melainkan juga Turki, Kurdi, Pashto, dan beberapa bahasa lainnya. Dalam versi Sufi ini kisah cinta terkenal ini, Laylā atau Laylī dipahami sebagai melambangkan Zat Ilahi. Nama Laylā/Laylī berasal dari kata bahasa Arab untuk malam (layl), dan itu berarti keindahan malam yang gelap, dari sinilah akar pengaitannya dengan “cahaya gelap” Zat Ilahi, yang menghitam karena intensitas cahayanya, mengatasi cahaya yang terlihat, yang melambangkan manifestasi. Ada pun Majnūn, artinya yang biasa sebagai seorang gila juga dilihat secara simbolis. Cinta juga melibatkan sejenis kegilaan, dan bahkan cinta manusia biasa sering melanggar logika dan akal sehat serta tampak bagi mereka yang tidak ditimpanya sebagai sejenis ketidakwarasan. Orang yang mencintai Allah dengan seluruh dirinya tentu akan tampak seperti ditimpa sebentuk keedanan dalam pandangan orang-orang yang menganggap keadaan yang normal sikap abai terhadap Cinta Allah yang mencirikan sebagian besar masyarakat. Kisah indah Laylā dan Majnūn karena itu merupakan sarana untuk mengekspresikan Cinta Allah terbungkus dalam bahasa cinta manusia.
CINTA ALLAH
Telah disebutkan bahwa Allah mencintai kita terlebih dahulu sebelum kita memiliki kemungkinan untuk mencintai-Nya. Prioritas ontologis ini harus selalu diingat. Allah dapat saja menciptakan makhluk yang tidak bisa apa-apa kecuali memuliakan Dia, dan Dia melakukan itu dalam menciptakan malaikat. Tetapi dalam kasus manusia, Dia menciptakan makhluk yang dianugerahi kehendak bebas, makhluk yang mampu mencintai-Nya secara sadar, tetapi juga mampu untuk tidak mencintai-Nya. Tidak ada cinta dengan paksaan. Cinta Allah adalah kenyataan yang meliputi penciptaan melalui tindakan penciptaan itu sendiri oleh Allah yang juga Maha Penyayang, Maha Pengasih, dan Maha Pencinta. Tetapi dari sisi manusia, adalah mungkin untuk tidak mencintai Allah sebagaimana mungkin pula untuk menolak keberadaan-Nya sendiri. Hidup di dunia ini bukan hanya ujian bagi iman kita, seperti ditegaskan Al-Quran, tetapi juga bagi cinta kita kepada Allah dan kemungkinan membalas cinta-Nya kepada kita dalam keterbatasan kita. Seperti disebutkan dalam hadis qudsi yang dikutip pada awal bab ini, adalah hak laki-laki dan perempuan untuk menjadikan Allah kekasih mereka. Atas dasar kenyataan ini, Allah meminta kita untuk menjadi kekasih bagi-Nya dalam kepenuhan kehendak bebas kita.
Halangan terbesar untuk merespons secara positif terhadap imbauan ilahi ini adalah bahwa ada banyak hal lain yang dapat menjadi objek kecintaan kita, mulai dari ego kita sendiri. Allah mengetahui keadaan ini, sehingga wahyu agama-agama dan kekuatan spiritual yang terkandung di dalamnya, dapat melepaskan ikatan kecintaan jiwa pada yang sementara dan fana lalu membelokkannya ke arah Allah. Ketika kaum Sufi berbicara tentang cinta, atau ‘isyq, mereka berpikir tentang aspeknya yang membebaskan dan bukan yang mengikat. Mencintai Allah secara penuh berarti memiliki kebebasan penuh dari setiap ikatan lain, dan karena Allah itu mutlak dan tak terbatas, maka itu berarti mengalami kebebasan mutlak dan tak terbatas.
Dalam salah satu ghazal-nya yang paling terkenal Hāfizh, penulis syair dan puisi mistik terindah dalam bahasa Persia, melantunkan:
Aku ungkapkan dan puas dengan kata-kataku,
Aku adalah hamba cinta dan terbebas dari kedua dunia.
Dulu aku terbang di dalam Taman suci, bagaimana aku bisa menjelaskan keterpisahanku?
Bagaimana aku lalu terjerat di dalam perangkap dunia ini?
Dulu aku malaikat dan surga yang agung adalah tempat tinggalku,
Adam membawaku ke biara reruntuhan kota ini.
Cinta Ilahi membebaskan kita tidak hanya dari dunia yang ini tetapi juga yang berikutnya, dipahami dalam bahasa agama biasa sebagai dunia yang penduduknya akan dihakimi dan mendapat balasan sesuai perbuatan baik atau buruknya di dunia ini. Melalui Cinta Ilahi kita kembali ke Taman suci tempat kita berada dalam kedekatan dengan Tuhan sebelum kejatuhan kita, Taman suci yang juga merupakan Taman kesatuan di atas seluruh keadaan penebusan dosa, di atas tempat tinggal di neraka dan surga seperti yang biasanya dipahami.
HARUSKAH MENCINTA UNTUK MENCAPAI TAMAN KEBENARAN?
Karena Taman Kebenaran dicapai melalui pengetahuan yang mencerahkan seperti yang dibahas dalam bab yang lalu, maka dapat ditanyakan apakah cinta merupakan pengiring yang diperlukan di jalan gnosis. Untuk menjawab pertanyaan mendasar ini penting untuk membedakan antara cinta sebagai emosi dan signifikansi metafisika cinta. Ada jalan mistik yang didasarkan hanya pada cinta yang menggiring manusia, melalui penggunaan emosi cinta yang ditujukan kepada Allah, kepada Allah sendiri.
Kebanyakan mistisisme Kristen adalah mistisisme cinta, seperti halnya bhakti marga dalam Hindu. Tasauf bukan jalan seperti itu meskipun Sufi tak hentinya berbicara tentang cinta. Dalam Tasauf cinta adalah pelengkap ma’rifah dan terkait dengan kenyataan yang diwujudkan oleh pengetahuan. Tentu saja, sebagian Sufi menekankan cinta dan pengetahuan yang lain, tetapi baik pengetahuan maupun cinta selalu hadir dalam setiap ajaran Sufi yang terpadu, sebagaimana halnya unsur tindakan, yang akan kita bicarakan dalam bab berikutnya. Rūmī adalah salah seorang penggubah lirik terindah tentang cinta dalam Tasauf , dan Matsnawī-nya diawali dengan syair-syair penuh dengan pujian terhadap cinta, namun buku yang sama disebut “samudra ma’rifah” oleh orang-orang yang mengenal karyanya dengan baik. Yang lain, seperti sahabatnya Shadr al-Dīn Qunyawī, menekankan ma’rifah tetapi tidak mengabaikan cinta. Singkatnya, jalan Tasauf menggabungkan pengetahuan dan cinta, dan jarang kita temukan seseorang atau sebuah mazhab dalam Tasauf yang ajarannya, meskipun menekankan cinta, tidak memiliki dimensi sapiential, yang murni bhakti dan bergenre sama dengan mistisisme Kristen serta beberapa bentuk spiritualitas Hindu.
Untuk pertanyaan apakah kita dapat mencapai Taman Kebenaran tanpa cinta, jawabannya adalah tidak, tapi pada saat yang sama harus ditekankan bahwa kesalehan sentimental, walaupun berharga pada tingkatannya sendiri, tidak dengan sendirinya memadai untuk tugas tersebut. Harus ada pengetahuan yang direalisasi, tetapi realisasi ini melibatkan seluruh wujud kita dan karenanya harus meliputi realitas cinta. Lebih jauh lagi, cinta mengantarkan kepada persatuan, dan Allah mencintai makhluk-Nya, sehingga tidak ada cara untuk mencapai Tuhan tanpa mengalami api cinta itu, yang membinasakan keberadaan kita yang terpisah lalu mengubah kita menjadi abu, yang darinya jiwa kita yang abadi muncul kembali dengan kehidupan yang baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mencinta sesungguhnya tidaklah hidup.
KEINDAHAN—ILAHI, MANUSIA, KOSMIS
Keindahan dan cinta adalah dua aspek dari kenyataan yang sama jika dilihat dari sudut pandang tertentu, yang satu memiliki sifat aktif dan yang lainnya pasif. Yang satu seperti api yang membakar sedangkan yang lainnya sebuah danau tenang dan tak terganggu, walaupun ada dimensi ketenangan dalam cinta setelah direalisasi dan keindahan juga dapat dilihat dalam petir dan kilat. Ada komplementaritas di dalam komplementaritas yang pertama, yaitu sebuah elemen pasif di dalam sifat cinta yang aktif dan elemen aktif di dalam sifat keindahan yang pasif. Kita bahkan dapat dengan mudah menerapkan doktrin Timur Jauh tentang komplementaritas dari yin dan yang serta kehadiran yin di dalam yang dan yang di dalam yin pada hubungan mendasar antara cinta dan keindahan ini. Singkatnya, keduanya tak terpisahkan pada tingkat tertentu, karena bagaimana mungkin orang tidak mencintai apa yang indah dan bagaimana mungkin sesuatu yang kita cintai tidak akan tampak indah pada tingkat tertentu (dan bukan hanya pada bentuk lahiriah dan tampilan luarnya)?
Dengan cara yang sama Al-Quran dan Hadis berbicara tentang cinta, keduanya juga berbicara tentang keindahan dan bahkan Al-Quran merujuk kepada Nama Tuhan, yang mengungkapkan Sifat-Nya kepada kita, sebagai nama yang indah. Ada Hadis, kumpulan ucapan Nabi mengatakan, “Tuhan itu indah dan Dia mencintai keindahan” secara praktis merupakan dasar estetika Islam. Selain itu, Nama-Nama Allah secara keseluruhan disebut Nama-Nama yang Indah. Dua istilah dasar yang digunakan untuk keindahan dalam sumber-sumber dasar Islam pada umumnya dan Tasauf khususnya adalah husn atau ihsān, dan jamāl. Yang terakhir ini adalah Nama Allah, sebagaimana disebut di dalam hadis yang sudah dikutip—dan juga disebutkan di dalam Al-Quran—sementara yang pertama menyangkut Allah sekaligus manusia, serta jalan kepada-Nya. Husn dalam bahasa Arab pada saat bersamaan berarti keindahan, kebaikan, dan keutamaan, yang dari sudut pandang Sufi tidak lain daripada keindahan jiwa. Tasauf itu sendiri didefinisikan sebagai ihsān, yang, seperti dijelaskan oleh sebuah hadis qudsi, berarti menyembah Allah seakan-akan kita melihat Dia dan jika kita tidak melihat-Nya, seolah-olah Dia melihat kita. Jalan menuju Taman Kebenaran ditutupi oleh berbagai bentuk keindahan yang semuanya merupakan teofani Keindahan Wajah Sang Kekasih, dan jalur ini tidak bisa ditempuh kecuali oleh orang yang menghias jiwanya dengan keindahan. Lalu bagaimanakah para Sufi memahami kenyataan penting ini dalam kehidupan ruhani?
Seperti halnya wujud, keindahan adalah kenyataan universal yang tidak dapat dibatasi, dan definisi logis tidak merangkum semua kenyataannya. Kita dapat menunjuk kepadanya dalam kontras dengan kejelekan, namun itu tidak mencukupi karena pada intisarinya keindahan melampaui dualisme, termasuk dualisme biasa keindahan dan kejelekan, yang kita alami melalui indera kita. Akan tetapi, sebagian guru bijak selama berabad-abad telah berusaha untuk mendefinisikan keindahan. Salah satu yang paling termasyhur adalah Plato, yang mengatakan, “Keindahan adalah kecemerlangan Kebenaran.” Kaum Sufi akan siap untuk menerima pernyataan ini, kecuali bahwa mereka akan menambahkan bahwa karena Kebenaran juga Kenyataan dalam perspektif mereka, seperti terlihat dalam kata al-haqīqah, yang berarti keduanya, keindahan dapat dikatakan sebagai kecemerlangan Kenyataan itu sendiri. Semua kenyataan memancar dari yang Satu, Yang merupakan satu-satunya Realitas mutlak yang juga Keindahan mutlak. Ketika yang Satu mewujudkan yang banyak pada berbagai tingkatan eksistensi kosmik, Keindahan mutlak ini juga mewujud bersamaan dengan eksistensi, di mana ia seperti aura di sekitar matahari. Apa yang tampak jelek oleh kita muncul dari non-eksistensi yang menampakkan diri sebagai eksistensi. Karena eksistensi itu sendiri memancar dari yang Nyata, yang auranya adalah keindahan, yang muncul sebagai kejelekan merupakan akibat tiadanya cahaya Wujud dan bayangan yang terbentuk sebagai akibat jauhnya jarak dari Sumber cahaya ini.
Kaum Sufi juga setuju sepenuhnya dengan Plato ketika dalam Philebus ia menegaskan bahwa keindahan adalah bagian dari realitas hal-hal dan tidak bergantung pada apresiasi subyektif atau persepsi kita mengenainya. Keindahan adalah bagian dari realitas objektif setiap wujud. Ia tidak tergantung pada penontonnya kecuali hingga sejauh mana setiap penonton itu mempersepsi keindahan sesuai partikularitas jiwanya dan hingga sejauh mana jiwanya indah dan mampu mengapresiasi keindahan. Tetapi itu tidak berarti bahwa keindahan semata-mata berdasarkan pada penilaian subjektif kita, sebagaimana ketidaktahuan kita tentang struktur geologi sebuah gunung karena kurangnya pengetahuan kita tidak membuat struktur itu menjadi subjektif. Ya, kita harus melatih mata dan telinga kita untuk melihat dan mendengar keindahan, dan itu hanya dapat dilakukan, dalam peristilahan spiritual, jika jiwa telah terlatih dan dibiasakan dan dibuat indah melalui perolehan kebaikan. Akan tetapi, pelatihan ini bukan satu-satunya syarat sejauh menyangkut apresiasi pada manifestasi keindahan universal. Tentu saja juga diperlukan penguasaan bahasa formal yang digunakan untuk mewujudkan jenis keindahan tertentu. Seorang Persia lazimnya tidak bisa mengapresiasi keindahan Sanctus dari Mass in B Minor karya Bach atau seorang Jerman pada keindahan musik raga India tanpa pelatihan tentang “bahasa” formal yang digunakan. Namun beberapa jenis keindahan bersifat universal dan melintasi kekhasan budaya. Bagi mereka yang mengapresiasi keindahan alam, pegunungan Himalaya menunjukkan keagungan dan keindahan yang nyata, yang diapresiasi manusia baik yang berasal dari Brasil, Nigeria, ataupun Jepang. Dan keindahan seorang manusia dapat dipersepsi ke mana pun orang tersebut pergi di muka bumi. Bahkan dalam domain seni, di mana masing-masing peradaban memiliki bahasa formal yang berbeda, beberapa adikarya besar menampilkan keindahan universal. Kita hanya perlu mengingat Chartres Cathedral, Alhambra, atau lukisan Sung. Singkatnya, pelatihan jiwa dalam bahasa formal berbagai kesenian dalam banyak kasus harus menyertai pendekorasian jiwa dengan keindahan batin, sementara Allah telah memanifestasikan keindahan dengan cara tertentu sehingga beberapa jenis keindahan melintasi seluruh batas budaya seolah-olah untuk mengingatkan kita bahwa Keindahan seperti itu dimiliki oleh yang Tak Berbentuk dan melampaui partikularitas semua “bahasa” formal.
Dalam Tasauf estetika tidak terpisah dari disiplin rohani dan etika. Orang tidak dapat terbang dengan sayap keindahan menuju kebebasan dunia spiritual tanpa disiplin dan tanpa menjadi sadar dan mencintai Keindahan mutlak Allah yang dirindukan oleh jiwa, terlepas apakah ia menginsafinya atau tidak, dalam pencariannya akan setiap bentuk keindahan duniawi. Pencarian ini tidak mungkin dilakukan tanpa etika dan disiplin rohani. Seperti yang pernah dikatakan oleh Plotinus, yang disebut kaum muslim Shaykh, atau guru rohani, dari Yunani, jiwa mengejar keindahan dan keindahan merupakan manifestasi dari kuasa rohani yang menggerakkan semua tingkatan realitas. Kaum Sufi sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, yang dulu pernah mendominasi estetika Barat namun kemudian terpinggirkan di Barat bersama ajaran Neoplatonik tentang subjek ini, pada abad kedelapan belas.
Bagaimanakah keindahan yang didambakan jiwa ini dirasakan dan dialami? Karena keindahan bersemayam di kedalaman jiwa, dan pada saat yang sama jiwa pun mendambakannya, Allah telah menjadikannya dapat dialami melalui semua fakultas, baik lahiriah maupun batiniah, yang dimiliki oleh jiwa itu. Semua indera lahiriah kita dapat merasakan keindahan terutama fakultas penglihatan dan pendengaran. Bahkan, kerap kali ketika kita merujuk pada keindahan, keindahan yang terdengar atau terlihatlah yang ada dalam pikiran kita. Tetapi fakultas batiniah dari jiwa kita juga dapat mempersepsi citra-citra keindahan yang tersembunyi dari mata lahiriah kita. Fakultas imaginal dapat mempersepsi citra-citra yang indah. Pikiran dapat melihat keindahan bentuk-bentuk matematis dalam dunia matematika murni terlepas dari alam material. Ia juga dapat memahami harmoni, yang tak dapat dipisahkan dari keindahan. Akal yang bersinar di dalam diri kita dapat merenungkan yang dapat dipahami secara murni dan alam malakuti. Adapun hati, ketika matanya dibuka, ia dapat melihat Keindahan wajah sang Kekasih itu sendiri. Melalui cara apa pun kesadaran kita berhubungan dan menjadi sadar akan realitas objektif, ada kemungkinan untuk mengalami keindahan, sebuah kualitas yang menjalari semua tingkatan dan modus keberadaan.
Walaupun keindahan ada di mana-mana, entah kita menyadarinya atau tidak, keindahan juga memiliki hierarki, sebagaimana halnya pada realitas, wujud dan cinta. Keindahan tertinggi adalah keindahan Realitas Tertinggi; keindahan mutlak adalah keindahan dari yang Mutlak. Bahkan keindahan paling intens yang dialami di dunia ini dalam wajah indah seseorang yang dicintai atau karya seni terhebat alam yang perawan atau bahkan semerbak jiwa seorang suci merupakan pantulan dari Keindahan ilahi. Mutlak dan tak terbatas secara sekaligus, Keindahan ini dapat dialami Kecantikan tetapi tidak dijelaskan dalam kata-kata manusia, sebagai realitas yang benar-benar tak terucapkan. Keindahan ini merupakan mahkota dari hierarki keindahan dan pada saat yang sama sumber setiap bentuk keindahan. Di bawahnya dalam hierarki itu terdapat keindahan dunia yang terpahamkan secara murni dan dunia malakuti, dan setelah itu dunia ruang-waktu yang mencerminkan dunia arketipal dan terpahamkan hampir secara langsung. Kategori terakhir bentuk-bentuk yang terikat oleh waktu dan ruang ini tentu saja mencakup alam perawan sebagaimana yang diciptakan oleh sang Seniman Tertinggi dan karenanya mencerminkan keindahan Penciptanya dengan sangat mencengangkan. Seni suci yang didasarkan pada inspirasi surgawi dan yang memungkinkan pengalaman langsung dunia spiritual dalam bentuk material juga termasuk dalam kategori ini.
Menurut ucapan Hermetik termasyhur, “Apa yang terendah melambangkan apa yang tertinggi.” Prinsip ini juga berhubungan dengan pengalaman keindahan Meskipun dunia material merupakan yang terendah dalam hierarki eksistensi, ia mencerminkan dunia tertinggi. Keindahan suatu bentuk material dengan demikian dapat mencerminkan keindahan tertinggi dan akhirnya Keindahan Ilahi. Banyak Sufi sepanjang zaman telah sepenuhnya sadar akan kebenaran ini dan memandang setiap bentuk yang indah sebagai bentuk pantulan Keindahan Wajah Dia.
Adapun mengenai keindahan manusia penting untuk dijelaskan di mana kedudukannya di dalam hierarki ini. Karena keadaan manusia mencakup semua tingkat keberadaan di dalam dirinya sendiri, dapat dikatakan bahwa manusia dapat merangkul seluruh hierarki. Manusia dapat memiliki keindahan fisik, keindahan karakter, keindahan jiwa, keindahan pikiran dan akal, dan keindahan hati. Dalam wilayah keduniaan, manusia sebenarnya merupakan bentuk keindahan tertinggi, terutama keindahan Manusia Universal, yang di dalamnya semua kemungkinan manusia terwujudkan. Adapun keindahan fisik bagi manusia biasa, itu adalah pemberian Allah, terutama ketika seseorang masih belia. Ketika kita semakin tua tindakan-tindakan kita yang didasarkan pada pilihan dan kehendak bebas akan semakin tercermin di dalam penampilan luar kita, dan kecantikan batin, dalam kasus orang-orang yang memiliki keindahan seperti itu, mulai mendominasi tampilan luar sementara keindahan lahiriah pemberian Allah akan semakin memudar. Tetapi keindahan lahiriah bukannya tidak berarti. Itu sebenarnya merupakan sebuah berkah yang besar dari Allah, membawa bersamanya banyak hak istimewa tetapi juga tanggung jawab besar. Kaum Sufi sering mengatakan bahwa merenungkan keindahan wajah seorang perempuan bagi seorang Sufi laki-laki adalah jalan yang paling langsung untuk merenungkan Keindahan Ilahi, dan yang sebaliknya juga benar. Ibn ‘Arabī dan Syabistarī, misalnya, menulis bagaimana setiap sisi wajah perempuan mengungkapkan Sifat Tuhan dan menyingkapkan sebuah Misteri Ilahi. Ibn ‘Arabī menulis ketika berada di Makkah dia bertemu dengan seorang wanita Persia muda dan ketika melihat wajahnya semua ilmu esoterik seolah-olah secara tiba-tiba terungkapkan baginya. Singkatnya, kaum Sufi, baik laki-laki maupun perempuan, bukan hanya pecinta Allah, tetapi mereka juga pencinta keindahan, yang tak dapat dipisahkan dari Realitas Ilahi dan yang, karena terkait dengan ketidakterbatasan Ilahi, menghadirkan kedamaian total dan membebaskan jiwa dari semua belenggu yang membatasi keberadaan.
Meskipun banyak Sufi gencar mengejar keindahan dan bentuk-bentuk yang indah, ada beberapa yang memperingatkan terhadap pencarian akan keindahan jika jiwa belum bersiap untuk pengalaman total Keindahan melalui bentuk-bentuk yang indah dengan membersihkan diri batinnya dari berbagai ketidaksempurnaan dan keburukan. Persis karena keindahan menarik jiwa, ia juga dapat menjebaknya dan bertindak sebagai sarana yang kuat untuk mengalihkannya dari Sumber segala keindahan. Itulah mengapa beberapa guru bijak dan mistikus di semua agama menganggap keindahan sebagai pedang bermata dua dan mencoba untuk menahan diri mereka dari mengapresiasi bentuk-bentuk lahiriah keindahan pada tahap tertentu dalam perjalanan spiritual. Orang-orang seperti itu disebut asketik (zuhhād dalam Islam), dan ada banyak orang yang demikian dalam sejarah awal Tasauf sebelum dimensi cinta dan pengetahuan mekar sepenuhnya. Tokoh-tokoh ini, sebenarnya, mempersiapkan landasan yang diperlukan bagi perkembangan itu. Apa yang dilakukan dan dikatakan oleh orang-orang suci dan peramal seperti itu adalah bahwa jiwa jangan sampai terperangkap di dalam sesuatu yang terbatas dan menghalanginya untuk naik ke tingkat kesempurnaan. Dengan demikian mereka berkonsentrasi hanya pada Allah sebagai yang Esa melebihi semua manifestasi dan segala bentuk.
Bahaya yang menjadi keprihatinan mereka berkaitan dengan kekeliruan menganggap suatu bentuk keindahan yang terbatas sebagai realitas yang mandiri, terlepas dari Allah sebagai Sumber segala keindahan. Persis lantaran sifat keindahan itulah maka ia memiliki kekuatan untuk menarik kepada dirinya sendiri dalam cara tertentu sehingga jiwa lupa akan Sumber keindahan ini dan juga fakta bahwa keindahan bentuk duniawi bersifat sementara. Tak banyak orang yang teralihkan dari Allah lantaran sesuatu yang buruk. Biasanya yang menyibukkan jiwa dan menjauhkannya dari Taman Kebenaran adalah sebuah bentuk yang memiliki beberapa jenis keindahan, yang padanya jiwa kemudian menjadi tertarik. Bayangan Keindahan Wajah Dia mulai bersaing di dalam jiwa dengan Keindahan mutlak, disebabkan oleh ketidaktahuannya jiwa tidak dapat membedakan antara yang Nyata dan pantulannya. Singkatnya, dalam visi Tasauf yang integral, keindahan akan tetap menjadi kenyataan di pusat kehidupan spiritual. Taman Kebenaran itu indah, dan tak seorang pun dapat memasukinya yang tidak menghargai keindahan dan yang tidak indah secara batin, yang tidak dapat membedakan antara keindahan dan kejelekan, yang berkaitan dengan mencermati perbedaan antara yang nyata dan tak nyata, yang salah dan yang benar.
Keindahan tidak dapat dipisahkan dari yang nyata dan benar karena, seperti mereka, ia mendampingi pantulan dari yang Esa di dalam yang banyak. Ia membukakan pintu bagi yang terbatas menuju yang Tidak Terbatas dan membebaskan jiwa dari kungkungan bentuk-bentuk terbatas, meskipun ia termanifestasi dalam tatanan formal. Harmoni merupakan hasil dari pantulan yang Esa di dalam yang bermacam-macam, dan karena itu ia terkait erat dengan keindahan. Objek keindahan memiliki harmoni kualitatif yang terkait dengan realitas seperti warna. Mereka tidak hanya dapat memiliki harmoni kualitatif tetapi juga kuantitatif. Ini dapat ditemukan, misalnya dalam musik, yang, di samping kualitas suara, terkait secara kuantitatif dengan pengukuran dan matematika, disiplin yang dipelajari dalam sains harmonik. Seni Islam dicirikan oleh proporsi harmonis, kejelasan matematis, dan berbagai tingkat simetri.
Dalam dunia spiritual lainnya yang tidak simetris juga dapat menjadi kendaraan bagi keindahan, sebagaimana yang dapat kita lihat pada taman Zen, tetapi dalam perspektif Sufi simetri biasanya dianggap terkait dengan harmoni dan harmoni dengan keindahan. Keindahan jenis ini melibatkan akal, dan kemampuan akal untuk mengerti, termasuk keindahan matematis, dianggap sebagai kualitas keindahan yang dirasakan pada tingkatan yang tinggi. Di bawahnya terletak keindahan yang dicerap oleh pancaindera dan di atasnya keindahan tak terlukiskan dari dunia yang mentransendensi segala bentuk. Tetapi seperti yang sudah disebutkan, semua tingkat keindahan ini adalah pantulan dari Keindahan puncak Wajah sang Kekasih, yang dialami oleh kita manusia saat berada dalam keadaan Surgawi.
Pengalaman keindahan itu masih berdiam jauh di dalam jiwa. Salah satu fungsi keindahan dalam kehidupan manusia adalah untuk memunculkan ingatan tentang Keindahan surgawi. Jika dipahami secara spiritual, keindahan itu sendiri menjadi sarana pemusatan perhatian dan penemuan kembali watak sejati kita sebagaimana Allah telah menciptakan kita, watak yang masih kita bawa jauh di dalam diri kita meskipun sudah terlupakan sebagai akibat dari kejatuhan kita ke dalam keadaan ketidaktahuan dan tidak lagi mengenal siapa diri kita. Setelah menjadi sepenuhnya terlahiriahkan (exteriorized), kita cenderung untuk hanya melihat pada bentuk lahiriah dan mencari keindahan lahiriah, sedangkan para Sufi merenungkan, melalui bentuk-bentuk lahiriah, makna batiniahnya dan keindahan batiniah yang terkandung di dalamnya. Seperti kata penyair Sufi Persia abad ketiga belas Awhad al-Dīn Kirmānī,
Lalu aku memandang wajah dunia dengan mata optik,
Karena bentuk lahiriah membawa tanpa Makna batin.
Dunia tak lain adalah bentuk dan kita harus hidup dalam bentuk:
Kita tak dapat melihat Makna lahiriah kecuali dalam bentuk.
Menurut hadis Nabi, Allah telah menuliskan keindahan di atas wajah segala sesuatu. Inilah wajah yang dipalingkan setiap makhluk kepada Allah. Realisasi spiritual berarti melihat wajah ini dan keindahan yang tertulis di atasnya serta mendengarkan musik indah dari seruan setiap makhluk, yang membentuk inti eksistensinya. Ini berarti melihat bentuk-bentuk dalam kebeningan metafisikal mereka dan bukan kegelapan lahiriah mereka. Kebeningan itu tak terpisahkan dari keindahan karena ia seperti jendela yang melaluinya Cahaya dari yang Tak Berhingga dan bersamanya pantulan dari Keindahan-Nya memasuki substansi bentuk itu sendiri, membuatnya menjadi kendaraan yang, melalui kecantikan mereka, membawa kita kepada yang Tak Berbentuk dan kepada Sumber dari semua keindahan.
Ya Tuhan Engkau yang paling mengetahui itu kini dan nanti,
Kami tidak melihat apa pun kecuali keindahan Wajah-Mu
Yang indah di dunia ini adalah cermin dari Keindahan-Mu
Kami telah melihat di Wajah Raja yang Maha Perkasa.
Akan tetapi, untuk meraih tujuan perenungan Keindahan Allah di dalam bentuk-bentuk duniawi, jiwa harus memperoleh kembali keindahan realitas purbanya, yang tak lain dari ihsān, dan yang dengan demikian juga berarti menjadi berhiaskan kebajikan-kebajikan—kebajikan yang memperindah jiwa dan yang akhirnya merupakan milik Allah. Jiwa yang indah tertarik kepada Keindahan Ilahi seperti ngengat tertarik kepada cahaya lilin dan senantiasa mengalami di dalam setiap keindahan duniawi Keindahan Ilahi dari sang tukang Kebun di Taman Kebenaran, sebuah keindahan yang tak terpisahkan dari tujuan akhir kehidupan manusia.
Para raja menjilati tanah yang darinya keindahan ini dibuat,
Sebab Allah telah mencampur di dalam tanah berdebu
Seteguk keindahan dari cangkir paling terpilih-Nya.
Inilah dia, kekasih tersayang—bukan bibir tanah liat itu—
Yang engkau kecup dengan ratusan gairah,
Maka bayangkanlah, seperti apa kiranya andai ia tak bercela!
Rūmī
KEDAMAIAN
Kita tidak dapat membicarakan makna spiritual keindahan tanpa berpaling kepada soal kedamaian. Keindahan menarik jiwa, dan di dalamnya jiwa menemukan semua yang dicarinya. Jadi mengapa pergi ke tempat lain? Mengapa dia terusik? Menyaksikan keindahan membutuhkan ketenangan dan kesenangan, ketenteraman dan kedamaian. Dalam tatanan formal, selama jiwa tertarik oleh keindahan bentuk tersebut, ia tetap dalam keadaan damai, tetapi dalam banyak kasus jiwa segera berhadapan dengan keterbatasan eksistensi dari bentuk dan, mendapati keterbatasan ini bersifat membelenggu, mengalihkan perhatiannya ke tempat lain dan meninggalkan keadaan damai karena usikannya. Akan tetapi, bagi kaum Sufi, keindahan bentuk merupakan simbol dan pantulan dari arketipe surgawinya, yang ia renungkan melalui bentuk tersebut. Keindahan bentuk dengan demikian mengantarkan orang seperti itu kepada wajah Keindahan Tak Terbatas, tempat ditemukannya kedamaian sejati. Dalam Keindahan Tak Terbatas tidak terdapat batasan eksistensial, dan tidak ada yang dapat mengganggu keadaan mengalami kedamaian tertinggi seperti itu dengan mengalihkan perhatian jiwa ke tempat lain karena jiwa berada dalam keadaan di mana pada kenyataannya tidak ada tempat lain baginya untuk beralih. Ini adalah sebuah keadaan yang oleh sebagian Sufi Asia Tengah disebut perdamaian universal (shulh-i kull). Itu adalah ketika kedamaian yang diraih ketika seseorang terbenam di dalam Realita yang melampaui semua ketegangan dan dualisme, di mana hal-hal yang berlawanan bertemu,
coincidentia oppositorum .
Adalah luar biasa bahwa jiwa manusia mendamba kedamaian sementara hidup di dunia yang penuh dengan perselisihan, pertikaian, perlawanan, perjuangan, dan peperangan. Apabila kita merenungkan istilah peace, shalom, shanti, dan salam dalam Kekristenan, Yudaisme, Hindu, dan Islam secara berturut-turut dan penggunaannya di mana-mana oleh para pengikut agama ini, serta istilah dengan arti yang sama yang digunakan di tempat lain, kita menjadi sadar akan keuniversalan kerinduan ini. Tasauf menekankan pentingnya kerinduan ini di dalam jiwa dan pentingnya mewujudkan tujuan dari kerinduan ini. Tetapi kaum Sufi berulang kali menekankan bahwa perdamaian ini tidak dapat ditemukan di dunia oposisi dan dualisme sementara kita tetap terikat ke dunia ini, itu hanya dapat ditemukan dengan mentransendensi dunia ini dan meraih Realitas Ilahi, yang sebagai Keindahan mutlak, juga merupakan kedamaian mutlak. Seperti yang dikatakan:
Tiada ketenteraman kecuali di dalam rengkuhan ruhani Kebenaran Ilahi (haqq).
Menurut Al-Quran dan sebuah hadis Nabi, ucapan sambutan dari para penghuni Surga, Taman itu, adalah salām atau damai; itulah ucapan salam yang biasa di kalangan Muslim, al- salām ‘alaykūm, atau “damai atasmu.” Nah, Taman itu bersinar dengan keindahan yang agung, yang dulu kita saksikan sebelum Kejatuhan kita dan orang-orang yang diberkati akan kembali mengalaminya setelah kematian. Keindahan seperti itu tidak dapat tidak kecuali berpadu dengan kedamaian dan ketenangan. Jiwa yang tidak merasakan ketenangan di dalam Keindahan Ilahi tidak layak mendapatkan Surga. Dia bahkan harus membawa ketenangan batin dan ketenangan jiwa ke ranah surgawi melalui pencapaian kebajikan-kebajikan spiritual agar dapat memasuki Taman itu dan mampu memetik manfaat dari kedamaian di ranah yang ke dalamnya jiwa-jiwa yang diberkati diperbolehkan masuk. Dengan cara yang sama jiwa yang diberkati harus menambahkan sesuatu pada Bait jannati agar orang itu layak untuk berada di sana.
Singkatnya, damai (al-salām) berada pada level tertinggi Nama Tuhan, dan Allah adalah kedamaian itu sendiri sekaligus pemberi kedamaian, karena Dia adalah indah dan sumber segala keindahan. Al-Quran menegaskan dalam sebuah ayat yang memainkan peran penting dalam amalan Sufi, ” Dialah yang telah menurunkan ketenangan (al-sakīnah) ke dalam hati orang-orang mukmin” (QS Al-Fath [48]:4). Sakīnah ini, yang memiliki kesesuaian dengan Shekinah menurut Kabbalis, merupakan kedamaian yang bersifat surgawi dan berpadu dengan rahmat, karena Allah adalah sumber langsungnya. Tetapi kita harus siap untuk menerima karunia yang besar ini dengan menyelaraskan diri dengan kebenaran, beriman dan mencintai Allah, dan mengarahkan jiwa kita kembali kepada Sumber dari semua keindahan dengan cara mengamalkan kebajikan. Melihat Keindahan Wajah sang Kekasih tidak dapat dipisahkan cinta mutlak dan tak bersyarat pada Dia yang Sendirinya mutlak dan tak bersyarat, dan ini dipisahkan dari mengalami kedamaian “yang melampaui semua pemahaman.”
Mari kita ingat bahwa jalan spiritual melibatkan pengetahuan, di satu sisi, serta cinta dan keindahan, di sisi yang lain. Akan tetapi, konsekuensi berikut mengikuti jalan ini juga menyebabkan diraihnya kedamaian yang didambakan jiwa. Selain itu, seperti yang kita akan lihat dalam bab berikutnya, jalan pengetahuan, cinta, dan keindahan memerlukan tindakan benar dan baik, yang tanpanya seseorang tidak dapat menyadari sepenuhnya pengetahuan ilahi dan tidak akan mampu untuk mencintai Allah dan melihat Keindahan-Nya dengan sepenuhnya wujud dirinya. Akibatnya, tanpa kebaikan dan kebajikan orang tidak bisa mencapai perdamaian yang pada tingkatannya yang paling mendalam tidak dapat dipisahkan dari keindahan dan yang kita semua cari jauh di kedalaman diri kita bahkan di tengah hiruk-pikuk, kekacauan, dan ketegangan dunia tempat kita hidup.
cuplikan dari buku
GARDEN OF TRUTH
Seyyed Hossein Nasr
Penerbit Mizan
Januari 2010
Rp 57.500