Dalam Pilu Aku Mengadu
29 Okt 2010 Tulis Komentar
Masih sangat lekat dalam ingatan lika liku jalan tanah pedesaan, jalan pintasnya, pepohonannya, gerumbulnya, letak rumah dan tentu saja wajah warga yang tinggal di tempat itu. Kenangan ketika malam-malam dingin sekadar duduk minum kopi atau teh nasgitel (panas legi tur kenthel atau panas manis dan kental) mengobrol membahas antah berantah persoalan dengan penduduk. Kadang sambil bermain gitar, kadang sambil mendengar cerita wayang dari radio--yang sering terpotong oleh berita nusantara dari RRI lengkap dengan informasi harga gabah kering dan cabe keritingnya.
Melihat foto-foto tempat saya pernah menjejakkan kaki dengan suka cita namun sekarang seperti musnah, ada rasa nostalgia yang kelu bercampur dengan rasa ketidakberdayaan, rasa melompong yang sangat asing. Terutama sekali saat berada ribuan kilometer jauhnya dari tempat itu ketika mendengar bencana telah terjadi.
Ini tidak kemudian mengurangi empati bagi ummat manusia yang mengalami bencana alam di tempat lain di Indonesia. Kepiluan atas sebuah bencana berlaku universal untuk semua ummat manusia.
Namun yang sering tidak saya pahami adalah ketika ada saja orang yang kemudian mengaitkan bencana itu dengan ketidakpatuhan manusia dalam menjalankan perintah agama di tempat bencana. Seolah wajar bagi manusia di tempat tertentu harus mengalami bencana dan kesengsaraan kolektif yang amat sangat. Seolah bencana alam bukan fenomena alam tetapi barometer untuk mengukur tingkat keimanan seseorang maupun kolektif.
Cobalah cek di situs jejaring sosial di internet, betapa banyak orang menggunakan logika yang seperti itu. Perhatikan pula akan banyaknya pendapat serupa, bahkan juga dari kaum cerdik cendekia, yang bertebaran di internet maupun media massa. Kalau anda punya akses, pendapat serupa akan lebih kental lagi kita temukan di pembicaraan kelompok-kelompok kecil keagamaan.
Sering bagi saya ini menjadi sebuah keheranan yang amat sangat. Apakah mereka yang berpendapat seperti itu tidak memperhitungkan faktor alam daerah bencana?
Dalam kaitan dengan Indonesia, tidakkah mereka memperhitungkan kondisi geografis Indonesia yang dikenal dengan gugus gunung berapinya? Yang berarti, kemanapun kita berpaling, kalau kita tinggal di kawasan gunung berapi, bencana letusan gunung berapilah ancamannya.
Atau, karena Indonesia terletak di pertemuan lempeng Pasifik, Euroasia dan Australia yang selalu bergerak dan bergeser menyebabkan Indonesia rawan gempa dan tsunami.
Justifikasi bencana alam layaknya barometer keimanan menurut saya hinaan menyakitkan bagi mereka yang terkena bencana dan kering empati kemanusiaannya.
Akan lebih produktif kalau ikut memikirkan cara meminimalisir dampak bencana alam. Bukankah kita sebagai manusia mau tak mau harus selalu berusaha hidup berdampingan dengan alam dengan segala hukum dan kehendaknya.
Kalau mengikuti logika mereka yang menyalahkan rendahnya keimanan sebagai penyebab bencana, sudah semestinya kami yang tinggal di London ini menjadi salah satu yang paling khawatir dengan bencana alam.
Bukannya hendak mengatakan saya setuju dengan apa yang terjadi di Inggris Raya ini. Tetapi haruslah proporsional melihat persoalan.
Dalam benak, beberapa hari terakhir ini, selalu terbayang wajah-wajah ramah, tulus dan bersahaja penduduk lereng Gunung Merapi. Walaupun berada ribuan kilometer jauhnya dari mereka, saya ikut merasakan kepiluan dengan bencana yang menimpa. Saya sakit hati ketika ada yang mengatakan mereka sepertinya layak mendapat bencana karena dikatakan tidak patuh menjalankan perintah agama.
Sumber:
Belum ada Komentar untuk "Dalam Pilu Aku Mengadu"
Posting Komentar