Bagaimanakah Wanita Ideal yang Haqiqi
30 Okt 2010 Tulis Komentar
Sebagai pribadi yang agamis, tentu kita yakin bahwa Allah swt. men-ciptakan kita berpasang-pasa-ngan. Al-Qur’ân sendiri secara tekstual menyatakan bahwa bukan hanya manusia saja yang mempunyai pasangan. Secara natural, kita lihat banyak sekali fenomena alam yang tercipta dalam keada-an mempunyai pasangan. Ada siang, ada malam; positif, negatif; kutub utara, kutub selatan; baik, buruk; keras, lembut; proton, neutron; dan sebagai-nya. Maka, agama Islam sebagai agama fitrah sangat menghargai manusia yang membu-tuhkan pasangan. Pasangan manusia yang kita maksud adalah la-ki-laki dan perempuan (wanita).
Dalam kebudayaan manapun di luar aja-ran Islam, baik jahiliyah maupun yang mengaku dirinya modern sekalipun, tidak ditemukan tempat yang pas dan propor-sional untuk seorang makhluk Allah yang bernama wanita.
Kebudayaan jahiliyah cenderung istib-dad (sewenang-wenang) dalam memper-lakukan wanita, baik dalam bentuk pele-cehan seksual, tekanan ekonomi, mau-pun berbagai siksaan fisik yang jelas-je-las tidak manusiawi. Pada saat itu, wanita dipahami sebagai makhluk manusia yang tidak berguna kecuali sebagai budak laki-laki.
Suatu contoh kasus di Mesir, ketika Gubernur ‘Amr bin al-‘Âsh dipilih sebagai pemimpin (sebagai bawahan khalifah ‘Umar r.a). Di sana terdapat kebudayaan yang sangat tidak manusiawi, yaitu: menjadikan perempuan sebagai kurban (baca: wadal) ketika bengawan Nil banjir. Maka, di setiap desa terdapat pesta se-malam suntuk dengan diiringi musik dan tari-tarian. Puluhan wanita cantik yang dihias berjoget dan menari-nari di atas panggung semalaman. Pesta diakhiri dengan penceburan wanita tercantik di atas derasnya Bengawan Nil yang sedang meluap, dengan harapan agar airnya le-kas surut. Namun, kebudayaan jahiliyah seperti ini kemudian sirna diberantas oleh ‘Amr bin al-‘Âsh atas perintah Amirul Mukminin.
Fenomena semacam itu juga terjadi di India. Zaman dahulu kala, bila seorang istri ditinggal mati oleh suaminya, maka sebagai istri yang baik dia tidak boleh menikah lagi dan harus selalu setia me-nemani sang suami meski sudah dikubur. Berhari-hari, berminggu-minggu, berta-hun-tahun, dia selalu menunggu mene-mani suaminya sambil meratapi kuburan-nya terus menerus sampai ajal menjem-put sang istri. Betapa kejamnya budaya tersebut, dan sungguh tidak manusiawi.
Di daratan Cina, perempuan kecil yang masih balita diharuskan memakai sepatu besi hingga dewasa. Begitu dewasa, se-patunya diganti lagi dengan yang lebih besar sedikit. Sehingga pada saat itu, ti-dak ada seorang pun di daratan Cina ber-kaki normal. Semuanya berkaki seperti bayi dan tidak dapat berjalan dengan wa-jar. Mereka tidak dapat berlari bahkan berjalan pun tertatih-tatih. Hal ini dilaku-kan dengan alasan supaya si perempuan tidak melarikan diri dari suaminya, setua dan seburuk apapun si suami.
Yang paling mengerikan dari semua itu adalah budaya Arab jahiliyah, yaitu wa’dul banât (mengubur anak perempuan hidup-hidup). Bagi orang Arab saat itu, memiliki anak perempuan berarti aib memalukan dan terhina. Maka untuk menghilangkan aib dan kehinaan itu, me-reka tega mengubur darah daging mere-ka sendiri hidup-hidup.
Tradisi Arab jahiliyah yang memalukan dan tidak terhormat itu kemudian ber-hasil diberantas tuntas oleh ajaran Islam. Bahkan Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapapun diantara kalian orang Islam yang mempunyai dua anak perempuan, maka wajib masuk surga.” Kemudian ada yang bertanya kepada baginda Nabi, “Kalau anak perempuan itu cuma satu bagaimana wahai Rasul?” Rasulullah menjawab, “Na’am (sama saja).”
Wanita dan Budaya Modern
Kadang wanita modern terbuai dengan jargon emansipasi, kesetaraan gender, dan simbol-simbol lainnya. Padahal be-lum tentu wacana tersebut dapat meng-angkat harkat dan martabat wanita de-ngan martabat yang diridhoi oleh Allah swt. Kalau emansipasi diartikan negatif serta mengabaikan norma-norma agama, maka yang dikhawatirkan adalah keme-rosotan moral. Ini bisa saja terjadi meng-ingat wacana tersebut bisa dijadikan ‘bemper’ (pelindung) bagi budaya Barat yang amoral dan biadab, yang hanya ber-tujuan mengeksploitasi (memanfaatkan) perempuan demi pemenuhan kebutuhan sesaat kaum hedonis (orang yang suka berhura-hura).
Kadang wanita modern terbuai dengan jargon emansipasi, kesetaraan gender, dan simbol-simbol lainnya. Padahal be-lum tentu wacana tersebut dapat meng-angkat harkat dan martabat wanita de-ngan martabat yang diridhoi oleh Allah swt. Kalau emansipasi diartikan negatif serta mengabaikan norma-norma agama, maka yang dikhawatirkan adalah keme-rosotan moral. Ini bisa saja terjadi meng-ingat wacana tersebut bisa dijadikan ‘bemper’ (pelindung) bagi budaya Barat yang amoral dan biadab, yang hanya ber-tujuan mengeksploitasi (memanfaatkan) perempuan demi pemenuhan kebutuhan sesaat kaum hedonis (orang yang suka berhura-hura).
Padahal, agama Islam sangat jelas mengharapkan wanita ideal (shâliĥah), dimana mereka adalah soko guru bangsa (‘imâd al-bilâd). Wanita yang berperan sebagai istri yang bisa membangun ke-luarga sakinah sekaligus menjadi ibu dari generasi penerus. Bukan sebagai biang kerok bangsa yang dikhawatirkan Rasulullah saw. dengan sabda beliau, “Tidak ada fitnah (cobaan) yang paling berbahaya bagi laki-laki seperti halnya fitnah perempuan (yang tidak bermoral).”
Belum ada Komentar untuk "Bagaimanakah Wanita Ideal yang Haqiqi"
Posting Komentar