Seni Tradisional Wayang Sekaligus Petuah Alamiah
3 Jun 2011 Tulis Komentar
Wayang adalah bagian dari seni tradisional jawa yang memperlihatkan dan mengajarkan tentang petuah-petuah alamiah dan amaliyah. Disebut alamiah karena cerita yang terkandung didalamnya memuat berbagai macam fenomena alam yang cerdik dikemas oleh dalangnya. Sementara yang menceritakan tentang tindakan-tindakan atau perbuatan itu pun termasuk bagian dari substansi cerita wayang yang bermakna amaliyah. Disamping itu, wayang mempunyai ciri khas budaya jawa yang seolah-olah masyarakat memaknainya sebagai tradisi. Sebuah tradisi masyarakat jawa bersifat kulturalisme realistis karena apa yang terjadi di masyarakat jawa diceritakan melalui tokoh pewayangan.
Di jawa, ada beberapa macam pengklasifikasian wayang menurut jenisnya. Banyak kalangan masyarakat yang mengenal jenis wayang mulai dari wayang kulit, wayang wong, wayang golek, wayang suket, dsb. Semua jenis wayang tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri untuk mewakili cerita.
Konstruktivitas kontekstual
Lantas apa hubungan wayang sebagai media pembelajaran? Pertanyaan itu menjadi sebuah pandangan baru yang harus dipikirkan dan dimaknai sebagai tool media pengajaran di kelas. Pementasan wayang dalam sebuah hajatan sudah menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, pemakanaannya akan lain jika wayang tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya sebagai media pengajaran di kelas. Secara umum, dunia wayang lebih menyentuh dalam pelajaran bahasa Jawa. Bahasa jawa sebagai kurikulum yang andil membuka wahana superior budaya lokal. Artinya, bahwa pelajaran bahasa Jawa lebih cenderung mengacu pada kehidupan jawa, budaya jawa, dan fenomena jawa.
Purwanto, seorang dalang sekaligus guru di SD Banyumanik 01 02 Semarang, sudah menerapkan pengajaran bahasa jawa di kelas melalui dunia wayang kulit. Bagi dia, pengajaran bahasa jawa di kelas SD lebih diterima oleh para siswa karena selain menyenangkan juga memudahkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkannya (SM, 02/07/2008). Menurut Purwanto, banyak petuah yang bisa diambil dari tokoh-tokoh wayang yang ada. Masing-masing tokoh memiliki karakter yang beda. Alhasil, dari pengajaran melalui media wayang kulit, siswa dapat belajar hal yang baik dan buruk sesuai dengan karakter tokoh wayang yang dipelajari.
Sebenarnya media pembelajaran melalui media pewayangan tidak harus terikat dalam satu sifat materi pelajaran itu sendiri. Artinya, seorang guru tidak mengajar hanya disesuaikan dengan materi pelajaran satu saja, akan tetapi juga implikatif digunakan untuk materi pelajaran yang lain. Hal tersebut bisa menjadi sebuah paradoks baru yang membidangi kontak kultur sosial jawa.
Sebuah evidence yang mengandung arti sosial adalah pemahaman moralitas masyarakat jawa yang sekarang dirasa makin luntur dengan peradaban barat. Pengaruh baratisme (westernisasi) sudah sangat padat, kental, dan mampu merubah pandangan mayarakat jawa itu sendiri dengan kaidah moral barat. Banyak testimoni dari pelbagai media cetak yang sering membicarakan tentang perubahan kultur moralitas masyarakat Jawa. Mereka memberikan alasan yang kontruktif terhadap pendidikan. Yakni, asinasi barat terhadap masyarakat jawa terjadi karena pendidikan tentang kultur jawa sendiri kurang diperhatikan, sehingga output pendidikan moral pun terlewatkan. Bahkan, menurut orang tua jawa sering mengatakannya dengan ungkapan ’ora njawani’.
Pentingnya pola pemahaman dan penerapan kaidah jawa memang harus dimulai dan dikenalkan sejak pendidikan dasar. Melalui pola pengajaran dengan media pewayangan sudah sangat representatif membentuk pola hidup njawani. Sekaligus dapat membawa peradaban bersifat kedaerahan yang betul-betul mencerminkan tradisi budaya daerah.
Kesadaran dan pemahaman
Masih terkait dengan kultur pewayangan yang memiliki sifat atau perwatakan, wayang justru harus dipahami dalam unsur aforis yang lain. Identitas wayang sebagai komoditas budaya dan kesenian tradisonal Jawa harus lebih diberi perhatian yang seksama.
Persoalan kesadaran ataupun tidak, perlu adanya simbol kepekaan dalam diri seorang guru untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa. Dalam hal ini, seorang guru memerlukan tindakan aktif yang mengarah pada kecerdasan emosional siswa.
Siswa akan terbiasa berkreasi bila gurunya memberikan banyak ruang untuk mereka, misalnya guru memberikan kesempatan siswa untuk membuat kerajinan tangan yang menghasilkan bentuk wayang-wayangan. Dengan menghadirkan kesempatan seperti itu, diharapkan siswa akan lebih bergerak bebas kepada apa yang sedang dihadapinya secara langsung. Kemudian mereka juga di ajak untuk menghiasi kerajinannya dengan dialog-dialog pewayangan. Maka secara langsung mereka sudah disuguhi dengan budaya jawa yang dipaparkan oleh mereka sendiri.
Keterlibatan guru terhadap bahan ajar yang tersistem memang harus sedemikian rupa juga memperlibatkan siswa, sehingga selain menyadari akan sistem pembelajarannya juga memahami karakter siswa. Character building inilah yang dapat dikembangkan melalui cara-cara pendekatan baik secara individual maupun kolektif.
Di jawa, ada beberapa macam pengklasifikasian wayang menurut jenisnya. Banyak kalangan masyarakat yang mengenal jenis wayang mulai dari wayang kulit, wayang wong, wayang golek, wayang suket, dsb. Semua jenis wayang tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri untuk mewakili cerita.
Konstruktivitas kontekstual
Lantas apa hubungan wayang sebagai media pembelajaran? Pertanyaan itu menjadi sebuah pandangan baru yang harus dipikirkan dan dimaknai sebagai tool media pengajaran di kelas. Pementasan wayang dalam sebuah hajatan sudah menjadi hal yang biasa. Akan tetapi, pemakanaannya akan lain jika wayang tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya sebagai media pengajaran di kelas. Secara umum, dunia wayang lebih menyentuh dalam pelajaran bahasa Jawa. Bahasa jawa sebagai kurikulum yang andil membuka wahana superior budaya lokal. Artinya, bahwa pelajaran bahasa Jawa lebih cenderung mengacu pada kehidupan jawa, budaya jawa, dan fenomena jawa.
Purwanto, seorang dalang sekaligus guru di SD Banyumanik 01 02 Semarang, sudah menerapkan pengajaran bahasa jawa di kelas melalui dunia wayang kulit. Bagi dia, pengajaran bahasa jawa di kelas SD lebih diterima oleh para siswa karena selain menyenangkan juga memudahkan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkannya (SM, 02/07/2008). Menurut Purwanto, banyak petuah yang bisa diambil dari tokoh-tokoh wayang yang ada. Masing-masing tokoh memiliki karakter yang beda. Alhasil, dari pengajaran melalui media wayang kulit, siswa dapat belajar hal yang baik dan buruk sesuai dengan karakter tokoh wayang yang dipelajari.
Sebenarnya media pembelajaran melalui media pewayangan tidak harus terikat dalam satu sifat materi pelajaran itu sendiri. Artinya, seorang guru tidak mengajar hanya disesuaikan dengan materi pelajaran satu saja, akan tetapi juga implikatif digunakan untuk materi pelajaran yang lain. Hal tersebut bisa menjadi sebuah paradoks baru yang membidangi kontak kultur sosial jawa.
Sebuah evidence yang mengandung arti sosial adalah pemahaman moralitas masyarakat jawa yang sekarang dirasa makin luntur dengan peradaban barat. Pengaruh baratisme (westernisasi) sudah sangat padat, kental, dan mampu merubah pandangan mayarakat jawa itu sendiri dengan kaidah moral barat. Banyak testimoni dari pelbagai media cetak yang sering membicarakan tentang perubahan kultur moralitas masyarakat Jawa. Mereka memberikan alasan yang kontruktif terhadap pendidikan. Yakni, asinasi barat terhadap masyarakat jawa terjadi karena pendidikan tentang kultur jawa sendiri kurang diperhatikan, sehingga output pendidikan moral pun terlewatkan. Bahkan, menurut orang tua jawa sering mengatakannya dengan ungkapan ’ora njawani’.
Pentingnya pola pemahaman dan penerapan kaidah jawa memang harus dimulai dan dikenalkan sejak pendidikan dasar. Melalui pola pengajaran dengan media pewayangan sudah sangat representatif membentuk pola hidup njawani. Sekaligus dapat membawa peradaban bersifat kedaerahan yang betul-betul mencerminkan tradisi budaya daerah.
Kesadaran dan pemahaman
Masih terkait dengan kultur pewayangan yang memiliki sifat atau perwatakan, wayang justru harus dipahami dalam unsur aforis yang lain. Identitas wayang sebagai komoditas budaya dan kesenian tradisonal Jawa harus lebih diberi perhatian yang seksama.
Persoalan kesadaran ataupun tidak, perlu adanya simbol kepekaan dalam diri seorang guru untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa. Dalam hal ini, seorang guru memerlukan tindakan aktif yang mengarah pada kecerdasan emosional siswa.
Siswa akan terbiasa berkreasi bila gurunya memberikan banyak ruang untuk mereka, misalnya guru memberikan kesempatan siswa untuk membuat kerajinan tangan yang menghasilkan bentuk wayang-wayangan. Dengan menghadirkan kesempatan seperti itu, diharapkan siswa akan lebih bergerak bebas kepada apa yang sedang dihadapinya secara langsung. Kemudian mereka juga di ajak untuk menghiasi kerajinannya dengan dialog-dialog pewayangan. Maka secara langsung mereka sudah disuguhi dengan budaya jawa yang dipaparkan oleh mereka sendiri.
Keterlibatan guru terhadap bahan ajar yang tersistem memang harus sedemikian rupa juga memperlibatkan siswa, sehingga selain menyadari akan sistem pembelajarannya juga memahami karakter siswa. Character building inilah yang dapat dikembangkan melalui cara-cara pendekatan baik secara individual maupun kolektif.
Belum ada Komentar untuk "Seni Tradisional Wayang Sekaligus Petuah Alamiah"
Posting Komentar