ABIMANYU
29 Mei 2011 Tulis Komentar
ABIMANYU putra kesayangan Arjuna dari salah seorang istrinya yang bernama Dewi Subadra, yang dalam pewayangan lebih dikenal dengan sebutan Wara Sembadra. Nama Abimanyu mengandung arti ‘kalau ia sedang marah, tak ada yang berani mendekat’. Abi atau abhi artinya dekat, manyu artinya marah.
Mengenai kisah kelahiran Abimanyu, dalam pewayangan ada lagi versi lain. Menurut versi itu, Abimanyu bukan lahir dari rahim Dewi Subadra, melainkan dari paha Bima.
Kisah lengkapnya sebagai berikut.
Batara Guru, pemuka kahyangan suatu ketika berkehendak mempersunting Dewi Kuntul Wilanten, putri Prabu Jumanten dari Kerajaan Gendingpitu. Sementara menunggu saat pernikahan, Batara Guru menugasi Bima menjaga putri cantik itu.
Sementara itu, Arjuna yang juga jatuh cinta pada Kuntul Wilanten, melarikan putri Prabu Jumanten itu. Bima yang merasa bertanggungjawab atas sang Putri, marah besar. Aijuna segera dihajar. Tetapi pada saat itu Aijuna sedang disusupi Sang Hyang Wenang, sehingga ia kebal terhadap pukulan dan tendangan Bima. Pada suatu kesempatan Aijuna mengusap perut Bima, dan seketika itu juga Bima hamil.
Karena malu dengan keadaan dirinya, ditambah lagi malu karena merasa tidak sanggup memenuhi tugasnya menjaga Dewi Kuntul Wilanten, Bima ber-niat bunuh diri. Ia segera pergi ke Samudra Man-cingan, hendak menceburkan diri di lautan yang ganas itu. Dalam peijalanan Bima dihadang Anoman. Bujukan Anoman agar Bima membatalkan niatnya bunuh diri, tidak dihiraukan. Akhirnya Anoman menolong Bima. Kandungan itu dipindahkan dari perut ke paha Bima. Kemudian Anoman menolong persalinan sang Bayi dari paha Bima. Bayi lahir dengan selamat. Oleh Anoman bayi itu diberi nama Bimanyu sebagai tanda bahwa bayi itu lahir dari paha Bima.
Anoman lalu menyerahkan Bimanyu kepada Dewi Subadra untuk disusui. Kebetulan, Dewi Subadra saat itu sedang menderita penyakit kamisandanen, payudaranya bengkak. Penyakit itu hanya akan sembuh bilamana ada bayi yang menyusu padanya.
Bimanyu itulah yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Abimanyu.
Kisah kelahiran Abimanyu versi ini hanya ada pada sebuah lakon, yaitu lakon Kuntul Wilanten. Bagi ke-banyakan peminat wayang kisah kelahiran Abimanyu yang seperti ini, dianggap sebagai rekaan semata. Bahkan terasa agak mengada-ada.
Abimanyu adalah seorang ksatria yang tampan, pen-diam, berilmu tinggi, dan kuat bertapa. Itulah sebabnya ia berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat, yang penting artinya bagi kemenangan keluarga Pandawa dalam Baratayuda di kemudian hari. Menurut pe-wayangan di Indonesia, siapa yang berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat kelak akan menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Ketika berusaha memperoleh Wahyu Cakraningrat itu Abimanyu bersaing dengan Lesmana Mandra-kumara dan Samba Wisnubrata. Lesmana Mandraku-mara adalah putra Prabu Anom Suyudana, raja Astina; sedangkan Samba, putra kesayangan raja Dwarawati, Prabu Kresna. Karena wahyu yang didapatnya itulah maka walaupun sebenarnya anak keluarga Pandawa yang tertua adalah Antareja, anak sulung Bima, namun seluruh keluarga Pandawa seolah sepakat bahwa Abimanyu adalah putra mahkota tidak resmi.
Abimanyu beristri dua orang. Yang pertama adalah Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna, dan yang kedua Dewi Utari, putri bungsu Prabu Matswapati dari Kerajaan Wirata. Perkawinannya dengan Dewi Siti Sundari diatur oleh Prabu Kresna yang mengharapkan cucunya dapat menjadi raja di Tanah Jawa. Tetapi perkawinan itu ternyata tidak membuahkan keturunan karena istri pertama Abimanyu ini mandul. Sedangkan dengan Dewi Utari, Abimanyu mendapat seorang putra yang tidak sempat ia saksikan kelahirannya. Abimanyu gugur dalam Baratayuda ketika Dewi Utari tengah mengandung tua. Anak tunggal Abimanyu itu dinamai Parikesit. Kelak setelah Baratayuda usai dan Pandawa menang, Parikesitlah yang menduduki takhta Kerajaan Astina
Ketika masih remaja Abimanyu pernah berperang melawan seorang raja gandarwa bernama Prabu Jayamurcita alias Angkawijaya dari Kerajaan Plang-kawati. Raja gandarwa itu dibunuh Abimanyu kare-na Jayamurcita berusaha mempersunting Dewi Subadra, sewaktu ayahnya sedang tidak ada di Ka-satrian Madukara. Sejak itu Abimanyu juga me-nyandang nama Jayamurcita atau Angkawijaya, sedangkan Plangkawati dijadikan kasatrian tempat tinggalnya. Nama lain Abimanyu adalah Sumbadraja, Jaka Pengalasan, Wanudara, Kiritiatmaja, Partasuta, Partatanaya, dan Wirabattana.
Dalam Wayang Golek Purwa Sunda, nama alias Abimanyu masih ditambah lagi dengan Sidamukti, Murcalalana, dan Tanjunganom.
Pada sebuah lakon car angan, yakni lakon Kitiran Petak, Abimanyu kawin dengan Dewi Dratawati dari Kerajaan Banakeling. Namun lakon ini tidak begitu terkenal.
Dalam sebuah lakon sempalan yang berjudul Juwitaningrat Abimanyu sekali lagi menyelamatkan keutuhan rumah tangga ayahnya. Menurut lakon itu, seorang raseksi sakti yang jatuh cinta pada Aijuna, mengubah ujud dirinya sebagai wanita cantik dan mengaku bernama Juwitaningrat. Arjuna terkecoh pmelayani cinta wanita raksasa itu. Lahirlah anak mereka, Bambang Semboto.
Karena dimabuk cinta pada istri barunya, Abima-nyu yang ketika itu masih kecil, bersama Dewi Su-badra dibuang ke hutan. Abimanyu kemudian mengganti namanya menjadi Jaka Pengalasan untuk membongkar rahasia Juwitaningrat. Berkat kesaktian Abimanyu dan bantuan ‘kakang kawah’ serta ‘adi ari-ari’nya, putra Arjuna itu berhasil memaksa Juwitaningrat kembali pada ujud aslinya, sedangkan Bambang Semboto mati terbunuh. Arjuna akhirnya menyadari kesalahannya dan menerima kembali Dewi Subadra sebagai istrinya.
Dalam perang besar antara keluarga Pandawa dan Kurawa, yang dikenal dengan sebutan Bara-tayuda, Abimanyu bersama dua orang adiknya, yaitu Bambang Sumitra dan Brantalaras belum boleh teijun ke medan perang. Ketiganya bahkan dilarang meninggalkan Istana Wirata. Ini menyebabkan Abimanyu kecewa dan masgul karena ia merasa telah mempersiapkan diri menghadapi perang besar itu selama bertahun-tahun. Baru pada hari ke-13, atas usul Prabu Puntadewa, Abimanyu diangkat sebagai panglima perang di pihak Pandawa.
Setelah semua keluarga Pandawa dan Prabu Kresna menyetujui usul Puntadewa itu, Semar dan anak-anaknya diutus menjemput ke Istana Wirata.
Gelar perang yang disusun pihak Pandawa hari itu adalah Sapit Urang, dengan Abimanyu bertindak sebagai sungutnya. Pasukan Kurawa yang dipimpin Begawan Drona menggunakan gelar perang Dirada Meta (Gajah Mengamuk). Abimanyu mengendarai kereta perang Kyai Pamuk, dihela dua ekor kuda kesayangannya, yakni Kyai Pramugari dan Kyai Pramukanya. Sedangkan yang menjadi sais adalah Bambang Sumitra, salah seorang adik tirinya va dilahirkan oleh Dewi Larasati.
Sewaktu mendengar berita tentang kematian dua orang adiknya, yaitu Brantalaras dan Wilugangga oleh panah Begawan Drona, Abimanyu amat marah. ia tidak lagi dapat mengendalikan diri. Diperintahkannya Bambang Sumitra yang menjadi sais kereta perangnya agar menerjang barisan Kurawa menuju ke tempat Begawan Drona berada. Sambil terus menerjang ke depan, Abimanyu membuka jalan bagi para prajuritnya. Anak kesayangan Arjuna itu menghujani pasukan Kurawa dengan ratusan anak panah. Banyak prajurit Kurawa yang menjadi korban.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan itu, Begawan Drona sebagai senapati Kurawa mengubah gelar perang Dirada Meta menjadi Cakrabhuya (Roda Berputar) untuk menjebak Abimanyu. Jika nanti Abimanyu sudah masuk perangkap, gelar perang diubah lagi menjadi Sapit Urang, agar Abimanyu tidak lepas dari perangkap.
Siasat Drona ini berhasil. Karena terlalu bersemangat dan hatinya diliputi dendam membara, Abimanyu kurang waspada sehingga ia masuk dalam perangkap. Tanpa disadarinya ia sudah berada dalam kepungan barisan Kurawa, terpisah dari pasukan yang dipimpinnya, semen-tara usahanya untuk mendekati Begawan Drona belum menampakkan hasil. Dalam keadaan terkepung itu, Adipati Kama berhasil memanah Bambang Sumitra sehingga gugur. Abimanyu segera mengambil alih tali kendali kereta perangnya, dan terus mendesak ke depan. Namun tak lama kemudian, Kyai Pramukanya terjerembab. Kuda terlatih itu pun tewas. Di tubuhnya tertancap belasan anak panah.
Abimanyu makin kalap. Dilepaskannya Kyai Pramugari dari kereta perangnya. Segera ia melompat ke punggung kuda itu, dan dipacunya menuju barisan musuh. Tekadnya masih tetap hendak membunuh Begawan Drona yang telah menyebabkan kematian adik-adiknya.
Karena serangan bertubi-tubi pasukan Kurawa, tubuh Abimanyu penuh luka tertancap anak panah dan tombak. Dalam lakon Abimanyu
Gugur biasanya Ki Dalang mengibaratkan luka-luka yang diderita Abimanyu sebagai “tatune arang kranjang” Abimanyu akhirnya gugur dengan keadaan tubuh yang amat menyedihkan. Selain luka-luka karena anak panah dan tombak lawan, tubuh Abimanyu hancur diinjak-injak gajah yang dikendarai oleh Jayadrata, ipar Prabu Anom Suyudana. Bahkan kepala Abimanyu juga remuk dihantam gada Kyai Glinggang oleh Jayadrata.
Peristiwa gugurnya Abimanyu secara aniaya itu membuat Aijuna marah dan dendam sehingga ia mengucapkan sumpah akan bunuh diri bilamana keesokan harinya tidak dapat membalas kematian anaknya, membunuh Jayadrata. Dengan bantuan Prabu Kresna akhirnya Aijuna berhasil melampiaskan dendamnya membunuh Jayadrata.
Sebelum gugur Abimanyu masih sempat membunuh banyak musuh, di antaranya beberapa orang keluarga Kurawa, dan putra mahkota Kerajaan Astina, Lesmana Mandrakumara. Putra kesayangan Prabu Anom Suyudana itu tewas terkena anak panah pusaka Kyai Gusara yang dilepaskan Abimanyu. Senjata sakti itu didapat Abimanyu dari Prabu Kresna, mertuanya, sebagai kancing gelung.
Kyai Gusara dilepaskan Abimanyu pada saat ia sudah hampir tidak berdaya. Lesmana Mandrakumara yang ikut mengeroyok putra Arjuna itu, mengira Abimanyu sudah tidak lagi sanggup melawan. Ia ingin tampil sebagai pahlawan Astina dengan membunuh Abimanyu. Karena itu putra sulung Prabu Anom Duryudana itu datang mendekat hendak menikam Abimanyu yang pada saat itu masih tetap berdiri tegak walaupun tubuhnya penuh dengan luka. Namun sebelum niat Lesmana terlaksana, Abimanyu masih sempat melepaskan anak panah Kyai Gusara. Lesmana Mandrakumara terhuyung lalu roboh dan jatuh di dekat kaki Abimanyu. Melihat hal itu, para Kurawa dan prajurit Astina berusaha mengambil jenazah Putra Mahkota Astina itu. Namun siapa pun yang mendekat akan dihadang anak panah Abimanyu. Agar jenazah Lesmana bisa diambil, Jayadrata segera memacu gajah yang dikendarainya menerjang Abimanyu, sehingga putra Aijuna itu terkapar di tanah. Tangan kirinya masih tetap menggenggam busur, sedangkan di tangan kanannya anak panah. Sekali lagi Jayadrata melarikan gajahnya menginjak-injak tubuh Abimanyu. Setelah itu Raja Muda Sindukalangan itu melompat turun dari gajahnya, dan sekuat tenaga dihantamnya kepala musuhnya, yang sudah tidak berdaya, dengan gada Kyai Glinggang.
Abimanyu gugur!
Kematian Abimanyu secara tragis dalam Barata-yuda menurut pewayangan adalah karena termakan sumpahnya sendiri. Waktu ia hendak menikah dengan Dewi Utari, putri bungsu Prabu Matswapati itu bertanya, apakah Abimanyu masih peijaka. Abimanyu menjawab, masih peijaka. Dewi Utari tidak percaya, karena ia mendengar kabar angin tentang perkawin-an Abimanyu dengan Dewi Siti Sundari, putri Prabu Kresna. Untuk meyakinkan kebenaran jawaban bohongnya, waktu itu Abimanyu berkata: “Aku benar-benar masih perjaka. Sumpah! Jika aku berbohong kepada Dinda, kelak dalam Baratayuda nanti aku akan gugur secara aniaya dengan tubuh penuh luka…’
Sebagai tanda kasih dan bakti pada suami, pada saat pembakaran jenazah Ambimanyu, Dewi Siti Sundari melakukan bela pati. Istri pertama Abimanyu itu menerjunkan diri ke dalam api pembakaran jenazah. Istrinya yang lain, Dewi Utari tidak melakukan hal yang sama, karena ketika itu sedang mengandung tua.
Dalam cerita pewayangan, perkawinan antara Abimanyu dan Dewi Utari terselenggara sesudah Abimanyu memenangkan sebuah sayembara. Menurut sayembara itu, barang siapa sanggup menggendong Dewi Utari, ialah yang akan menjadi suaminya. Banyak pangeran dan raja yang mencoba mempersunting putri raja Wirata itu, namun tidak seorang pun yang sanggup menggendong Utari, kecuali Abimanyu. Hal ini disebabkan karena Dewi Utari adalah putri yang mendapat Wahyu Widayat, sedangkan Abimanyu adalah ksatria yang memperoleh Wahyu Cakraningrat.
Dalam Kitab Mahabarata cerita mengenai perkawinan itu lain lagi.
Setelah Arjuna yang masih dalam penyamaran sebagai banci bernama Brehanala berhasil membantu memukul mundur serangan Astina atas Kerajaan Wirata sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu Matsya menghadiahkan Dewi Utari (dalam kitab itu disebut Utara) kepadanya untuk diperistri. Namun Arjuna walaupun amat menghargai hadiah itu, ia terpaksa menolak, karena selama setahun menyamar di Wirata, dan mengajar putri bungsu Prabu Matsya itu, ia sudah menganggap Utari sebagai anaknya sendiri. Ia mengusulkan agar Utari dikawinkan dengan Abimanyu, anaknya. Usul ini disetujui Prabu Matsya (dalam pewayangan disebut Prabu Matswapati), dan terjadilah perkawinan Abimanyu dengan Dewi Utari.
Perkawinan itu diselenggarakan secara meriah di Upalawya, daerah Wirata yang dijadikan pasanggrahan oleh para Pandawa. Antara lain, pesta itu dihadiri oleh Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Prabu Drupada, Prabu Salya, Resi Bisma, dan Begawan Drona, serta beberapa raja dari negara tetangga Wirata.
Tentang kematian Abimanyu, dalam Mahabarata dikisahkan, pada hari ke-13 itu Patih Sengkuni merancang gelar perang Cakrabhuya dengan tujuan menjebak ksatria Pandawa masuk dalam perangkap kepungan Namun Resi Drona mengingatkan bahwa strategi itu mengandung kelemahan, karena Arjuna sudah faham akan gelar perang itu. Dengan demikian Arjuna tentu akan memperingatkan saudara-saudara dan panglima pihak Pandawa lainnya agar tidak terjebak.
Prabu Anom Duryudana tetap menyetujui usul Patih Sengkuni itu, sehingga strategi gelar perang Cakrabhuya dilaksanakan pihak Kurawa.
Supaya siasat perang ini berhasil, Duryudana lalu memerintahkan Prabu Susarma dari Kerajaan Trigarta agar menantang Arjuna berperang tanding, lalu mengusahakan agar Arjuna menjauh dari tengah gelanggang Kurusetra. Bilamana Arjuna jauh dari gelanggang, gelar Cakrabhuya tentu akan berhasil. Karena Arjuna tidak akan sempat memperingatkan pasukannya akan bahayanya gelar Cakrabhuya.
Pada pagi hari itu Susarma berhasil membuat panas hati Arjuna, sehingga ksatria Pandawa itu mengejarnya sampai jauh ke luar gelanggang. Menjelang tengah hari, siasat perang Cakrabhuya digelar. Bima dan Puntadewa ragu-ragu menghadapi siasat perang lawannya itu. Namun Abimanyu segera mengajukan dirinya, karena ia tahu sedikit tentang siasat perang itu.
“Hamba sanggup menerobos barisan Kurawa, namun hamba tidak tahu jalan keluarnya …” katanya.
Puntadewa menjawab: “Majulah, karena kami semua akan selalu berada di belakangmu.”
Ternyata, setelah Abimanyu maju, Bima dan Puntadewa serta barisan Pandawa lainnya tidak dapat mengikuti Abimanyu karena barisan Kurawa yang dikoordinasikan Begawan Drona segera menutup gerakan mereka. Abimanyu terkepung sendirian di tengah barisan musuh. Sekaligus ia harus menghadapi tujuh orang panglima perang, yaitu Resi Drona, Patih Sengkuni, Aswatama, Kama, Dursasana, Salya, dan Duryudana.
Sebelum gugur, Abimanyu sempat membunuh Lesmana Mandrakumara dan mempermalukan Begawan Drona serta Prabu Salya dengan melukai mereka. Ia juga sempat bertanya, mengapa orang-orang yang ia hormati itu sampai hati melanggar hukum perang dengan mengeroyok dirinya.
Dalam pergelaran Wayang Orang gaya Surakarta, tokoh Abimanyu biasanya diperankan oleh penari wanita. Sedangkan pada Wayang Orang gaya Yogyakarta, Abimanyu umumnya diperankan penari pria yang bertubuh kecil dan ramping.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa gagrak Yogyakarta, Abimanyu dilukiskan dalam tiga wanda, yakni Padasih, Sedet, dan Kanyut. Sedangkan pada gagrak Surakarta, terdiri atas sebelas wanda, yakni Bontit, Banjed, Brebes, Jayenggati, Kanyut, Malatsih, Mangu, Mriwis, Panji, Rangkung, dan Bulus.
Pada Wayang Kulit Purwa Jawatimuran, Abimanyu dirupakan dalam dua bentuk, yakni Abimanyu ore, yang rambutnya diurai sampai ke bahu; dan Abimanyu ukel, yang rambutnya digelung mirip Aijuna. Abimanyu ore digunakan untuk peran masa remaja, sedangkan yang ukel untuk Abimanyu dewasa.
Belum ada Komentar untuk "ABIMANYU"
Posting Komentar