Rumitnya Pengurusan Izin Radio Komunitas Mengakibatkan Mayoritas Radio Komunitas Melakukan Aktivitas Penyiaran Tanpa Izin
27 Feb 2012 1 Komentar
Komunitas untuk Demokrasi (JRK Dem) bersama Aliansi Jurnalis Independen Surabaya dan LBH Pers Surabaya segera melayangkan gugatan uji materi terhadap undang-undang tentang penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam gugatan antara lain dipersoalkan Pasal 21 undang-undang tersebut yang mengatur jarak jangkau radio komunitas dan low frekuensi. "Saat ini kami mulai mengumpulkan materi gugatan, menjaring dukungan, dan kekuatan dari berbagai pihak,” kata Ketua Presidium JRK-Dem Mochamad Hasyim, Minggu, 12 Februari 2012.
Menurut Hasyim, selama ini pelaku radio komunitas diperlakukan tidak adil. Mereka hanya dibatasi bersiaran dengan alat dengan kekuatan daya pancar maksimal 50 watt. Jarak jangkau siaran juga tidak boleh melebihi 2,5 kilometer. Padahal, dengan batasan seperti itu, radio komunitas yang ada di perkotaan tidak bisa melakukan siaran secara maksimal. "Kalau di puncak Gunung Bromo, dengan kekuatan seperti itu bisa menjangkau desa-desa di sekitar gunung. Tapi di Surabaya hanya menjangkau tetangga sebelah rumah. Warga satu RT pun tak bisa mengaksesnya," ujar Hasyim.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 yang merupakan peraturan pelaksana undang-undang penyiaran, menurut Hasyim, juga sangat membelenggu radio komunitas, terutama dalam hal perizinan.
Peneliti radio komunitas dari Universitas Airlangga Surabaya, Irfan Wahyudi, mengatakan, rumitnya pengurusan izin radio komunitas mengakibatkan mayoritas radio komunitas melakukan aktivitas penyiaran tanpa izin. "Ada yang sudah ngurus lebih dari 10 tahun, tetap saja gagal," ucap Irfan.
Irfan menjelaskan, sesuai ketentuan, izin radio penyiaran setidaknya harus menunjukkan 250 KTP anggota komunitas serta melakukan sertifikasi alat ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, harus berbadan hukum komunitas serta membayar frekuensi.
Menurut Irfan, seluruh persyaratan tersebut mampu dipenuhi para pengelola radio komunitas. ”Jangankan hanya sebatas KTP, kalau perlu mereka sanggup membawa serta 250 anggotanya. Tapi pemerintah selalu mempersulit," tuturnya.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Maulana Arief membenarkan sulitnya pengurusan izin bagi radio komunitas. Adapun peran KPID hanya bertugas sebagai perantara untuk melanjutkan proses perizinan ke Kementerian Kominfo. "Yang juga rumit mengurus izin HO (izin gangguan). Pungutan biaya di tingkat kecamatan dan kabupaten sangat besar. Bahkan ada yang mengaku sudah habis Rp 20 juta, tapi izin HO belum turun," kata Maulana.
Direktur LBH Pers Surabaya Athoillah mengatakan, keruwetan ihwal radio komunitas memang tidak gampang untuk diurai. "Uji materi ke Mahkamah Konstitusi adalah langkah awal yang bisa ditempuh," kata Athoillah.
Sumber : TEMPO.CO
Dalam gugatan antara lain dipersoalkan Pasal 21 undang-undang tersebut yang mengatur jarak jangkau radio komunitas dan low frekuensi. "Saat ini kami mulai mengumpulkan materi gugatan, menjaring dukungan, dan kekuatan dari berbagai pihak,” kata Ketua Presidium JRK-Dem Mochamad Hasyim, Minggu, 12 Februari 2012.
Menurut Hasyim, selama ini pelaku radio komunitas diperlakukan tidak adil. Mereka hanya dibatasi bersiaran dengan alat dengan kekuatan daya pancar maksimal 50 watt. Jarak jangkau siaran juga tidak boleh melebihi 2,5 kilometer. Padahal, dengan batasan seperti itu, radio komunitas yang ada di perkotaan tidak bisa melakukan siaran secara maksimal. "Kalau di puncak Gunung Bromo, dengan kekuatan seperti itu bisa menjangkau desa-desa di sekitar gunung. Tapi di Surabaya hanya menjangkau tetangga sebelah rumah. Warga satu RT pun tak bisa mengaksesnya," ujar Hasyim.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 yang merupakan peraturan pelaksana undang-undang penyiaran, menurut Hasyim, juga sangat membelenggu radio komunitas, terutama dalam hal perizinan.
Peneliti radio komunitas dari Universitas Airlangga Surabaya, Irfan Wahyudi, mengatakan, rumitnya pengurusan izin radio komunitas mengakibatkan mayoritas radio komunitas melakukan aktivitas penyiaran tanpa izin. "Ada yang sudah ngurus lebih dari 10 tahun, tetap saja gagal," ucap Irfan.
Irfan menjelaskan, sesuai ketentuan, izin radio penyiaran setidaknya harus menunjukkan 250 KTP anggota komunitas serta melakukan sertifikasi alat ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu, harus berbadan hukum komunitas serta membayar frekuensi.
Menurut Irfan, seluruh persyaratan tersebut mampu dipenuhi para pengelola radio komunitas. ”Jangankan hanya sebatas KTP, kalau perlu mereka sanggup membawa serta 250 anggotanya. Tapi pemerintah selalu mempersulit," tuturnya.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur Maulana Arief membenarkan sulitnya pengurusan izin bagi radio komunitas. Adapun peran KPID hanya bertugas sebagai perantara untuk melanjutkan proses perizinan ke Kementerian Kominfo. "Yang juga rumit mengurus izin HO (izin gangguan). Pungutan biaya di tingkat kecamatan dan kabupaten sangat besar. Bahkan ada yang mengaku sudah habis Rp 20 juta, tapi izin HO belum turun," kata Maulana.
Direktur LBH Pers Surabaya Athoillah mengatakan, keruwetan ihwal radio komunitas memang tidak gampang untuk diurai. "Uji materi ke Mahkamah Konstitusi adalah langkah awal yang bisa ditempuh," kata Athoillah.
Sumber : TEMPO.CO
1 Komentar untuk "Rumitnya Pengurusan Izin Radio Komunitas Mengakibatkan Mayoritas Radio Komunitas Melakukan Aktivitas Penyiaran Tanpa Izin"
Ya begitulah pejabat indonesia, kreatifitas selalu di kekang. apa susahnya memberikan kemudahan? pada ngapain saja mereka bertahun tahun jadi pejabat, ngurusin permasalahan radio komunitas saja g beres2...
Posting Komentar