Buah Puasa Bagi Orang Jawa
3 Agu 2011 Tulis Komentar
Bagi orang Jawa (yang mayoritas sebagai pemeluk Islam), puasa Ramadan dinilai memiliki kelebihan dibanding puasa-puasa yang lain.
- Puasa pada bulan Ramadan berhukum wajib. Sementara puasa-puasa lain sunah. Seperti puasa pada bulan Haji, puasa Senin-Kamis, puasa mutih, ngrowot, puasa weton, dan lain-lain.
- Puasa Ramadan berkembang menjadi puasa sosial, sementara puasa yang lain bersifat individual.
- Puasa Ramadan memiliki tingkat kesulitan (godaan) lebih tinggi dibanding puasa-puasa lain.
Maka tidak mengherankan jika sejak umur lima tahunan anak-anak sudah diajarkan berpuasa. Lazimnya dimulai dari puasa mbedhug (sampai lohor), kemudian meningkat puasa asar (sampai masa salat asar). Baru setelah benar-benar kuat dia diharuskan berpuasa seperti halnya orang dewasa; sejak lepas imsak hingga magrib. Tradisi ini menunjukkan, betapa orang Jawa Islam begitu kuat menciptakan tradisi puasa Ramadan, sama halnya dengan membaca syahadat dan salat lima waktu.
Puasa Ramadan merupakan latihan mengamalkan nilai-nilai “puasa” sepanjang tahun, karena hidup di dunia bukan sekadar “mampir ngombe”. Benarkah dengan puasa Ramadan membuat orang jadi sakti, cerdas, tangkas mengarungi kehidupan yang berliku-liku ini? Sebab, memperoleh “buah puasa” -sebagaimana menuai bulir padi dari pohonnya- ternyata sulitnya bukan main. Contohnya, bagaimana jika selesai puasa Ramadan pada suatu hari di dompet kita tinggal berisi sekeping logam ratusan rupiah saja? Apa yang kita rasakan? Apa yang harus dikerjakan? Apakah meratapi, lemas tak berdaya, ngutang pada teman, berangkat mencari uang dengan menghalalkan segala cara, dan lain sebagainya.
Substansi dari masalah seperti ini bukan sekali dua kali kita temui setiap tahunnya. Persoalannya, lolos dari permasalahan tersebut (pada zaman yang serbamungkin ini) bisa jadi sangat mudah. Karena ibarat buku, kehidupan masa kini sudah mirip buku tebal. Dengan demikian celah antarlembar halamannya juga tambah banyak. Konotasinya, peluang untuk meraih sukses hidup lebih besar dibanding masa-masa sebelumnya. Namun realitasnya, kemudahan tersebut bukannya disyukuri, melainkan sering membuat banyak orang “lupa diri”.
Belakangan di kampung-kampung muncul semboyan “Bebas Pekat”. Maknanya, kampung tersebut bebas dari penyakit masyarakat. Dan yang diakui sebagai penyakit masyarakat umumnya hanyalah malima (madat, minum, main, maling, dan madon ). Sementara penyakit yang bernama “lupa diri” dan yang banyak lagi yang lain belum dikategorikan sebagai ancaman berbahaya. Padahal semua tahu, malima adalah wujud dari perilaku. Dan setiap perilaku tak mungkin dilaksanakan jika batin yang bersangkutan melarangnya.
Jadi yang perlu digaris bawahi adalah buah puasa bukan suatu yang kasat mata. Melainkan diperolehnya kebersihan batin dan sikap perilaku yang benar sesuai norma-norma Islam baik secara pribadi maupun kultural. Maka, ketika puluhan juta orang Indonesia menjalani puasa Ramadan sejak kanak-kanak, sebenarnya kita bisa berharap bahwa kehidupan sosial di Tanah Air menjadi lebih baik. Namun, manakala bayangan tersebut terasa semu, para pemerhati bahasa tentu akan lebih pintar dan cepat menemukan jawabannya lewat peribahasa: “buah jatuh memang tak pernah jauh dari pohonnya.”
Sumber :http://jagadjawa.com
Belum ada Komentar untuk "Buah Puasa Bagi Orang Jawa"
Posting Komentar