Mengenang Pengabdian Ki Hadisugito di Jagad Pewayangan
1 Jul 2011 Tulis Komentar
PAKEM pewayangan adalah paugeran pergelaran wayang yang harus dipatuhi oleh para dalang. Meskipun demikian, isen-isen ajaran dalam pergelaran wayang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Nut jaman kelakone. Bahkan dalam adegan tertentu, omongan tokoh-tokoh tertentu juga tidak ditabukan glenyengan atau dleweran ke permasalahan yang sedang aktual di masyarakat. Bahkan ketika sedang dalam jejeran, tiba-tiba Janaka terkentut, sebenarnya juga bukan hal yang tabu. Bukankah Janaka itu juga gambaran sesosok manusia biasa?
Pernyataan itu disampaikan Ki Hadi Sugito kepada KR pada tahun 1987. Saat itu gaya pewayangan Ki Hadi Sugito dinilai telah mengalami loncatan jauh maju ke depan, inovatif dan kreatif. “Dalam soal lakon, kalau memainkan lakon-lakon babonan saya selalu sama persis dengan apa yang ada di pakem lakon. Tetapi kalau memainkan cerita-cerita carangan, saya memang banyak menafsirkan sendiri dan saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu saya mendalang. Cerita-cerita carangan itu kan juga diciptakan sendiri oleh mbah-mbah buyut kita?” tegas Ki Hadi Sugito saat itu.
Selain dikenal ada keseimbangan antara tontonan (entertainment) dan tuntunan (ajaran pendidikan), gaya pedalangan Ki Hadi Sugito sejak tahun 70-an dikenal selalu dikemas segar namun berbobot. Kehebatan vokal dan antawecana dalang asal Kulonprogo itu dikenal sangat enak didengar dan ada harmoni antara suara dalang dengan gendhing pengiring. Karena itu banyak panggemar wayang kulit yang merasa seolah-olah melihat kehidupan nyata ketika mendengarkan pergelaran wayang kulit oleh Dalang Hadi Sugito, meskipun hanya lewat siaran radio atau rekaman audio.
Peran sentral Ki Hadi Sugito dalam pergelaran wayang kulit gagrak Yogyakarta sudah tidak diragukan. Ia adalah salah satu dalang yang tetap berpegang kuat pada pakem pergelaran wayang kulit gaya Yogya. Ia sama sekali tidak terseret arus dalang-dalang lain yang ‘terjebak’ pada pergelaran wayang yang hanya mengutamakan segi tontonan dan mengabaikan fungsinya sebagai tuntunan.
Dalam kondisi para pemerhati seni tradisi sedang prihatin lantaran jagad perkeliran yang sedang carut-marut, 9 Januari lalu mendadak terdengar kabar bahwa Sang Maestro Dalang Yogya, Ki Hadi Sugito, meninggal dunia. Berita itupun benar adanya, dan Ki Hadi Sugito dimakamkan di Sasana Laya Genthan Panjatan Kulonprogo, 10 Januari 2008 tepat 1 Sura 1941 (1 Muharam 1429 H).
Keprihatinan para pemerhati seni dan para dalang wayang kulit klasik bertambah, karena saat ini sebenarnya pedalangan gaya Yogya sangat memerlukan tokoh panutan, seperti Ki Hadi Sugito. Keprihatinan itu antara lain diungkapkan oleh Ki Cerma Sutedjo, Ki Sumono Widjiatmodjo dan sejumlah dalang lain. Sebab menurut mereka, dalang merupakan faktor utama keadiluhungan pergelaran wayang kulit. “Untuk saat ini Ki Hadi Sugito adalah figur yang paling pas dijadikan panutan para dalang muda khususnya, agar pergelaran wayang gaya Yogya tetap adiluhung,” kata Ki Cerma Sutedjo.
Dalang asal Surakarta, Ki Purba Asmoro SKar MHum menilai bahwa kalau mendalang, seolah roh Pak Hadi Sugito bisa masuk ke tubuh wayang, terutama kalau sedang memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Kehebatan antawecana sampai membuat wayang seolah benar-benar hidup pada zaman sekarang, adalah kemampuan Ki Hadi Sugito yang tidak dimiliki oleh dalang-dalang lain. “Pak Gito benar-benar dapat menghidupkan wayang sesuai zamannya. Namun pergelaran wayang yang dimainkan Ki Hadi Sugito tetap bergaya klasik, sesuai aturan dan tatanan yang adiluhung,” tegas Ki Purbo ketika mewakili para seniman dalam upacara pemberangkatan jenazah Ki Hadi Sugito, Kamis (10/1) lalu.
Sebagai pelaku kesenian adiluhung, lanjut Ki Purbo, pengabdian Ki Hadi Sugito sudah tatas-tuntas. Ia telah mendarmabaktikan hidup sepenuhnya kepada kesenian tradisional yang adiluhung menjadi kesenian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. “Sikapnya yang enthengan kepada sesama seniman dan sikapnya yang tegar berpegang pada pakem pewayangan klasik Gagrak Ngayogjakarta, merupakan sikap yang sangat pantas diteladani, agar pergelaran wayang kulit benar-benar tetap adiluhung,” tandasnya.
Tentang keadiluhungan pergelaran wayang, Ir Haryono Haryoguritno dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) mengatakan, suatu karya seni dapat mencapai kemahakaryaan karena ditentukan oleh manusia pelaku seni (seniman yang bersangkutan, dalam hal ini dalang), suasana sekitar yang mendukung pergelaran, iklim berkesenian di suatu daerah, dan faktor-faktor lain yang mendukung keadiluhungan pergelaran wayang.
Mengutip isi buku pedalangan Sastramiruda, Ir Haryono Haryoguritno menguraikan bahwa untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dalang harus memenuhi 12 syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) dan kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan.
Ketua Pepadi Kulonprogo, Ki Sumono Widjiatmodjo mengatakan, Pak Gito sangat dikenal sebagai dalang gecul ning ora saru. Dalam hal antawecana, Pak Gito sangat jagoan, terutama ketika memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Bahkan dalam lakon Bagong Kembar, penonton atau pendengar dapat dengan jelas membedakan mana Bagong yang asli dan yang palsu.
“Soal nges lan greget, Pak Gito selalu dapat menarik perasaan orang lain terlibat dalam pergelaran wayang. Apalagi kalau sedang memainkan tokoh Durna yang jahat, sehingga ada penonton di Ngambal Kebumen benar-benar sangat membenci Durna dan mencabut wayang Durna yang sedang dimainkan Ki Hadi Sugito,” kata Ki Sumono. (Joko Budhiarto)
***
INNA lillahi wa inna illaihi roji’un, semua yang berasal dari Allah pada akhirnya kembali kepada Allah pula. Kabeh jalma yen wis titi wanci bakal tumekaning pati, marak sowan marang Sang Hiang Widhi. Begitu juga halnya dengan Ki Hadi Sugito.
Tepat pada hari Rebo pasaran Legi tanggal 9 Januari 2008 Masehi, atau bersamaan dengan tanggal 30 Dzulhijjah tahun 1428 Hijriyah, atau tanggal 30 Besar 1940 Jawa, Ki Hadi Sugito harus “marak sowan” ke hadirat Allah SWT.
Di dalam usianya yang 67 tahun, dhalang kondhang yang sudah puluhan tahun malang melintang di jagat pakeliran itu harus menghadap Sang Hiang Widhi. Almarhum dimakamkan di TPU Sasana Laya Genthan, Tayuban, Panjatan, Kulonprogo. Tentu tidak saja keluarganya di Toyan, Triharjo, Wates Kulonprogo yang kehilangan, akan tetapi masyarakat Yogyakarta khususnya dan bangsa Indonesia umumnya ikut serta merasa kehilangan.
Dunia seni kita telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Dekarakterisasi Tokoh Saat ini memang banyak dhalang yang ternama, katakanlah Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogyakarta), Ki Manteb Sudarsono (Surakarta), Ki Anom Suroto ( Surakarta), Ki Asep Sunarya (Bandung) dsb. Kalau wanita ada nama-nama, Nyi Suharni Sabdowati (Sragen), Nyi Wulansari Panjangmas (Wonogiri), Nyi Cempluk Sabdosih (Sragen), Ni Sri Rahayu Setiyowati (Jakarta), dsb. Namun, di antara banyak dhalang ternama tersebut tidak satu pun yang memiliki gaya mendhalang yang “kocak” tetapi taat pada pakem sebagaimana kekhasan Ki Hadi Sugito.
Kreativitas seni Ki Hadi Sugito memang harus diakui signifikansinya; dan dari kreativitas seni yang dimiliki itulah muncul berbagai ungkapan yang membuat kekhasan dalam beroleh seni. Kalau punakawan seperti Gareng dan Petruk sering ndhagel kiranya hal itu sudah biasa, demikian juga dengan tokoh pewayangan yang berkarakter “celelekan” seperti Dursasana dan Buriswara; tetapi tentu saja tidak untuk tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” seperti Arjuna, Werkudara dan Abimanyu. Tetapi di tangan Ki Hadi Sugito, semua tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” pun bisa ndhagel, guyonan, bahkan membanyol. Arjuna, Werkudara, Abimanyu, Adipati Karna, Duryudana, Kunthi, Wara Sembadra, Drupadi, Utari dsb, semuanya bisa mengocok perut penontonnya.
Bahkan tokoh pewayangan yang “wingit” seperti halnya Bathara Guru pun tidak jarang didagelkan. Oleh para penggemarnya, Ki Hadi Sugito dihafali dengan ungkapan-ungkapan khas yang tidak dimiliki oleh dhalang lain: seperti ngglibeng, menus, prandekpuno, prek, trembelane, dan sebagainya. Orang tentu tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh “wingit” seperti Bathara Guru bisa ngendika (berucap) “prek” kepada dewa lain atau kepada manusia. Ungkapan khas tersebut menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat, khususnya analis seni pewayangan, baik yang negatif maupun yang positif.
Di satu sisi ada analis yang menyatakan apa yang dipertunjukkan oleh Ki Hadi Sugito dengan “mendagelkan” semua tokoh wayang, terutama yang berkarakter serius dan wingit, telah merusak dunia pewayangan itu sendiri. Argumennya cukup jelas, salah satu kekhasan pertunjukan wayang adalah adanya karakter yang sudah melekat pada tokohnya, jadi kalau ada upaya melepas karakter tersebut (dekarakterisasi) seperti yang dilakukan Ki Hadi Sugito, hal itu telah merusak dunia pewayangan itu sendiri.
Di sisi lain ada analis yang menyatakan apa yang dilakukan Ki Hadi Sugito adalah langkah yang positif karena tidak pernah menerjang pakem. Ndagelnya tokoh wayang tidak sampai pada titik dekarakterisasi, dan hal ini justru menjadi metoda yang tepat untuk menarik minat masyarakat supaya menuntaskan pertunjukan yang dimainkannya. Di dalam penuntasan inilah akan dimuati pesan-pesan luhur dengan cara yang ringan dan tidak terkesan membebani.
Aneka pendapat tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah. Jangankan terhadap Ki Hadi Sugito, sedangkan kepada Bung Karno, Pak Harto, SBY, Gus Dur, dan Amien Rais pun sama saja; di satu pihak ada yang memuji dan di lain pihak ada yang mencemooh. Teguh Pendirian Terhadap aneka pendapat yang ditujukan kepada dirinya, nampaknya Ki Hadi Sugito tidak pernah risau. Beliau teguh dalam berpendirian dengan tetap menampilkan pertunjukan sesuai dengan kekhasan dirinya. Beliau yakin dengan cara itu minat masyarakat terhadap wayang akan semakin meningkat.
Para pemuda yang mulanya asing terhadap wayang pun akan mulai tertarik melalui dhagelan-dhagelan yang dibawakannya, Kalau pemuda sudah tertarik terhadap wayang? Lakon selanjutnya adalah meniupkan pesan-pesan moral dan ajaran hidup secara ringan, sama sekali tidak dengan metode yang terlalu serius yang terkadang justru membosankan.
Barangkali atas keteguhan pendiriannya tersebut maka Ki Hadi Sugito dinobatkan sebagai salah satu dari 22 orang Jawa yang terpandang dan terkenal (misuwur) versi Wikipedia. Adapun tokoh-tokoh lain di luar dirinya antara lain adalah Sultan Agung, Panembahan Senapati, Ranggawarsita, Poerbatjaraka, Sri Sultan HB IX, Ki Narto Sabdo, Tjan Tjoe Siem, dan Amien Rais.
Masuknya nama Ki Hadi Sugito dalam daftar orang Jawa yang terpandang dan terkenal secara tidak langsung merupakan pengakuan atas prestasi yang telah diukir oleh dirinya. Wafatnya Ki Hadi Sugito semoga meninggalkan generasi muda yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya sebagaimana meninggalnya Prabu Pandhu Dewanata yang meninggalkan Pandawa yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya. Selamat jalan Pak Gito……..
SUMBER : http://wayang.wordpress.com/
Pernyataan itu disampaikan Ki Hadi Sugito kepada KR pada tahun 1987. Saat itu gaya pewayangan Ki Hadi Sugito dinilai telah mengalami loncatan jauh maju ke depan, inovatif dan kreatif. “Dalam soal lakon, kalau memainkan lakon-lakon babonan saya selalu sama persis dengan apa yang ada di pakem lakon. Tetapi kalau memainkan cerita-cerita carangan, saya memang banyak menafsirkan sendiri dan saya sesuaikan dengan situasi dan kondisi sewaktu saya mendalang. Cerita-cerita carangan itu kan juga diciptakan sendiri oleh mbah-mbah buyut kita?” tegas Ki Hadi Sugito saat itu.
Selain dikenal ada keseimbangan antara tontonan (entertainment) dan tuntunan (ajaran pendidikan), gaya pedalangan Ki Hadi Sugito sejak tahun 70-an dikenal selalu dikemas segar namun berbobot. Kehebatan vokal dan antawecana dalang asal Kulonprogo itu dikenal sangat enak didengar dan ada harmoni antara suara dalang dengan gendhing pengiring. Karena itu banyak panggemar wayang kulit yang merasa seolah-olah melihat kehidupan nyata ketika mendengarkan pergelaran wayang kulit oleh Dalang Hadi Sugito, meskipun hanya lewat siaran radio atau rekaman audio.
Peran sentral Ki Hadi Sugito dalam pergelaran wayang kulit gagrak Yogyakarta sudah tidak diragukan. Ia adalah salah satu dalang yang tetap berpegang kuat pada pakem pergelaran wayang kulit gaya Yogya. Ia sama sekali tidak terseret arus dalang-dalang lain yang ‘terjebak’ pada pergelaran wayang yang hanya mengutamakan segi tontonan dan mengabaikan fungsinya sebagai tuntunan.
Dalam kondisi para pemerhati seni tradisi sedang prihatin lantaran jagad perkeliran yang sedang carut-marut, 9 Januari lalu mendadak terdengar kabar bahwa Sang Maestro Dalang Yogya, Ki Hadi Sugito, meninggal dunia. Berita itupun benar adanya, dan Ki Hadi Sugito dimakamkan di Sasana Laya Genthan Panjatan Kulonprogo, 10 Januari 2008 tepat 1 Sura 1941 (1 Muharam 1429 H).
Keprihatinan para pemerhati seni dan para dalang wayang kulit klasik bertambah, karena saat ini sebenarnya pedalangan gaya Yogya sangat memerlukan tokoh panutan, seperti Ki Hadi Sugito. Keprihatinan itu antara lain diungkapkan oleh Ki Cerma Sutedjo, Ki Sumono Widjiatmodjo dan sejumlah dalang lain. Sebab menurut mereka, dalang merupakan faktor utama keadiluhungan pergelaran wayang kulit. “Untuk saat ini Ki Hadi Sugito adalah figur yang paling pas dijadikan panutan para dalang muda khususnya, agar pergelaran wayang gaya Yogya tetap adiluhung,” kata Ki Cerma Sutedjo.
Dalang asal Surakarta, Ki Purba Asmoro SKar MHum menilai bahwa kalau mendalang, seolah roh Pak Hadi Sugito bisa masuk ke tubuh wayang, terutama kalau sedang memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Kehebatan antawecana sampai membuat wayang seolah benar-benar hidup pada zaman sekarang, adalah kemampuan Ki Hadi Sugito yang tidak dimiliki oleh dalang-dalang lain. “Pak Gito benar-benar dapat menghidupkan wayang sesuai zamannya. Namun pergelaran wayang yang dimainkan Ki Hadi Sugito tetap bergaya klasik, sesuai aturan dan tatanan yang adiluhung,” tegas Ki Purbo ketika mewakili para seniman dalam upacara pemberangkatan jenazah Ki Hadi Sugito, Kamis (10/1) lalu.
Sebagai pelaku kesenian adiluhung, lanjut Ki Purbo, pengabdian Ki Hadi Sugito sudah tatas-tuntas. Ia telah mendarmabaktikan hidup sepenuhnya kepada kesenian tradisional yang adiluhung menjadi kesenian yang mampu mengikuti perkembangan zaman. “Sikapnya yang enthengan kepada sesama seniman dan sikapnya yang tegar berpegang pada pakem pewayangan klasik Gagrak Ngayogjakarta, merupakan sikap yang sangat pantas diteladani, agar pergelaran wayang kulit benar-benar tetap adiluhung,” tandasnya.
Tentang keadiluhungan pergelaran wayang, Ir Haryono Haryoguritno dari Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) mengatakan, suatu karya seni dapat mencapai kemahakaryaan karena ditentukan oleh manusia pelaku seni (seniman yang bersangkutan, dalam hal ini dalang), suasana sekitar yang mendukung pergelaran, iklim berkesenian di suatu daerah, dan faktor-faktor lain yang mendukung keadiluhungan pergelaran wayang.
Mengutip isi buku pedalangan Sastramiruda, Ir Haryono Haryoguritno menguraikan bahwa untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dalang harus memenuhi 12 syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) dan kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan.
Ketua Pepadi Kulonprogo, Ki Sumono Widjiatmodjo mengatakan, Pak Gito sangat dikenal sebagai dalang gecul ning ora saru. Dalam hal antawecana, Pak Gito sangat jagoan, terutama ketika memainkan tokoh Durna, Togog dan Mbilung. Bahkan dalam lakon Bagong Kembar, penonton atau pendengar dapat dengan jelas membedakan mana Bagong yang asli dan yang palsu.
“Soal nges lan greget, Pak Gito selalu dapat menarik perasaan orang lain terlibat dalam pergelaran wayang. Apalagi kalau sedang memainkan tokoh Durna yang jahat, sehingga ada penonton di Ngambal Kebumen benar-benar sangat membenci Durna dan mencabut wayang Durna yang sedang dimainkan Ki Hadi Sugito,” kata Ki Sumono. (Joko Budhiarto)
***
INNA lillahi wa inna illaihi roji’un, semua yang berasal dari Allah pada akhirnya kembali kepada Allah pula. Kabeh jalma yen wis titi wanci bakal tumekaning pati, marak sowan marang Sang Hiang Widhi. Begitu juga halnya dengan Ki Hadi Sugito.
Tepat pada hari Rebo pasaran Legi tanggal 9 Januari 2008 Masehi, atau bersamaan dengan tanggal 30 Dzulhijjah tahun 1428 Hijriyah, atau tanggal 30 Besar 1940 Jawa, Ki Hadi Sugito harus “marak sowan” ke hadirat Allah SWT.
Di dalam usianya yang 67 tahun, dhalang kondhang yang sudah puluhan tahun malang melintang di jagat pakeliran itu harus menghadap Sang Hiang Widhi. Almarhum dimakamkan di TPU Sasana Laya Genthan, Tayuban, Panjatan, Kulonprogo. Tentu tidak saja keluarganya di Toyan, Triharjo, Wates Kulonprogo yang kehilangan, akan tetapi masyarakat Yogyakarta khususnya dan bangsa Indonesia umumnya ikut serta merasa kehilangan.
Dunia seni kita telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Dekarakterisasi Tokoh Saat ini memang banyak dhalang yang ternama, katakanlah Ki Timbul Hadi Prayitno (Yogyakarta), Ki Manteb Sudarsono (Surakarta), Ki Anom Suroto ( Surakarta), Ki Asep Sunarya (Bandung) dsb. Kalau wanita ada nama-nama, Nyi Suharni Sabdowati (Sragen), Nyi Wulansari Panjangmas (Wonogiri), Nyi Cempluk Sabdosih (Sragen), Ni Sri Rahayu Setiyowati (Jakarta), dsb. Namun, di antara banyak dhalang ternama tersebut tidak satu pun yang memiliki gaya mendhalang yang “kocak” tetapi taat pada pakem sebagaimana kekhasan Ki Hadi Sugito.
Kreativitas seni Ki Hadi Sugito memang harus diakui signifikansinya; dan dari kreativitas seni yang dimiliki itulah muncul berbagai ungkapan yang membuat kekhasan dalam beroleh seni. Kalau punakawan seperti Gareng dan Petruk sering ndhagel kiranya hal itu sudah biasa, demikian juga dengan tokoh pewayangan yang berkarakter “celelekan” seperti Dursasana dan Buriswara; tetapi tentu saja tidak untuk tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” seperti Arjuna, Werkudara dan Abimanyu. Tetapi di tangan Ki Hadi Sugito, semua tokoh pewayangan yang berkarakter “serius” pun bisa ndhagel, guyonan, bahkan membanyol. Arjuna, Werkudara, Abimanyu, Adipati Karna, Duryudana, Kunthi, Wara Sembadra, Drupadi, Utari dsb, semuanya bisa mengocok perut penontonnya.
Bahkan tokoh pewayangan yang “wingit” seperti halnya Bathara Guru pun tidak jarang didagelkan. Oleh para penggemarnya, Ki Hadi Sugito dihafali dengan ungkapan-ungkapan khas yang tidak dimiliki oleh dhalang lain: seperti ngglibeng, menus, prandekpuno, prek, trembelane, dan sebagainya. Orang tentu tidak bisa membayangkan bagaimana tokoh “wingit” seperti Bathara Guru bisa ngendika (berucap) “prek” kepada dewa lain atau kepada manusia. Ungkapan khas tersebut menimbulkan berbagai pendapat di kalangan masyarakat, khususnya analis seni pewayangan, baik yang negatif maupun yang positif.
Di satu sisi ada analis yang menyatakan apa yang dipertunjukkan oleh Ki Hadi Sugito dengan “mendagelkan” semua tokoh wayang, terutama yang berkarakter serius dan wingit, telah merusak dunia pewayangan itu sendiri. Argumennya cukup jelas, salah satu kekhasan pertunjukan wayang adalah adanya karakter yang sudah melekat pada tokohnya, jadi kalau ada upaya melepas karakter tersebut (dekarakterisasi) seperti yang dilakukan Ki Hadi Sugito, hal itu telah merusak dunia pewayangan itu sendiri.
Di sisi lain ada analis yang menyatakan apa yang dilakukan Ki Hadi Sugito adalah langkah yang positif karena tidak pernah menerjang pakem. Ndagelnya tokoh wayang tidak sampai pada titik dekarakterisasi, dan hal ini justru menjadi metoda yang tepat untuk menarik minat masyarakat supaya menuntaskan pertunjukan yang dimainkannya. Di dalam penuntasan inilah akan dimuati pesan-pesan luhur dengan cara yang ringan dan tidak terkesan membebani.
Aneka pendapat tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah. Jangankan terhadap Ki Hadi Sugito, sedangkan kepada Bung Karno, Pak Harto, SBY, Gus Dur, dan Amien Rais pun sama saja; di satu pihak ada yang memuji dan di lain pihak ada yang mencemooh. Teguh Pendirian Terhadap aneka pendapat yang ditujukan kepada dirinya, nampaknya Ki Hadi Sugito tidak pernah risau. Beliau teguh dalam berpendirian dengan tetap menampilkan pertunjukan sesuai dengan kekhasan dirinya. Beliau yakin dengan cara itu minat masyarakat terhadap wayang akan semakin meningkat.
Para pemuda yang mulanya asing terhadap wayang pun akan mulai tertarik melalui dhagelan-dhagelan yang dibawakannya, Kalau pemuda sudah tertarik terhadap wayang? Lakon selanjutnya adalah meniupkan pesan-pesan moral dan ajaran hidup secara ringan, sama sekali tidak dengan metode yang terlalu serius yang terkadang justru membosankan.
Barangkali atas keteguhan pendiriannya tersebut maka Ki Hadi Sugito dinobatkan sebagai salah satu dari 22 orang Jawa yang terpandang dan terkenal (misuwur) versi Wikipedia. Adapun tokoh-tokoh lain di luar dirinya antara lain adalah Sultan Agung, Panembahan Senapati, Ranggawarsita, Poerbatjaraka, Sri Sultan HB IX, Ki Narto Sabdo, Tjan Tjoe Siem, dan Amien Rais.
Masuknya nama Ki Hadi Sugito dalam daftar orang Jawa yang terpandang dan terkenal secara tidak langsung merupakan pengakuan atas prestasi yang telah diukir oleh dirinya. Wafatnya Ki Hadi Sugito semoga meninggalkan generasi muda yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya sebagaimana meninggalnya Prabu Pandhu Dewanata yang meninggalkan Pandawa yang kokoh, berkarakter dan mampu berbuat banyak bagi bangsanya. Selamat jalan Pak Gito……..
SUMBER : http://wayang.wordpress.com/
Belum ada Komentar untuk "Mengenang Pengabdian Ki Hadisugito di Jagad Pewayangan"
Posting Komentar