Ki Enthus Soesmono
1 Jul 2011 Tulis Komentar
ENTHUS SOESMONO, (1966 – ), lahir pada Selasa Legi, tanggal 21 Juni 1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Ia adalah anak satu-satunya Soemarjadihardja, dalang wayang golek terkenal di Tegal, dengan istri ketiga yang bernama Tarminah.
Sejak berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan.
Kesukaannya menggambar, menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit menghasilkan karya pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di kelas IV SD. Setelah sekolah di SMP Negeri 1 Tegal (1979-1981) ia mulai menekuni karawitan secara metodik, yang diasuh oleh dua orang guru keseniannya, Mawardi dan Prasetyo. Ketrampilannya menabuh gamelan itu kemudian digunakan untuk melatih rekan-rekan di SMA Negeri 1 Tegal (1982-1985), yang semula tidak pernah mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan karena tidak mempunyai grup musik yang merupakan kolaborasi antara karawitan dan band.
Kemampuan pedalangannya tidak didapat dari lembaga pendidikan formal seperti SMKI, kursus pedalangan, maupun pelajaran ayahnya, tetapi karena ia sering mengikuti pentas ayahnya dan jeli mengamati sajian pakeliran para dalang lain. Hampir setiap ada pertunjukan wayang di daerahnya selalu disaksikan. Selain itu ia juga berlatih secara serius kepada Sugino Siswotjarito (Banyumas) dan Ki Gunawan Suwati (Slawi), aktif mendengarkan kaset komersial rekaman pakeliran Ki Nartosabdo (Semarang) dan Ki anom suroto (Surakarta), serta sering menyaksikan para dosen ASKI Surakarta yang sedang memberikan materi kuliah praktik pedalangan di Kampus ASKI, Sasonomulyo Keraton Surakarta (1982-1983)
Keinginan tampil sebagai dalang wayang kulit purwa tidak dapat dicegah ketika kelas dua SMA, di sekolahnya ada acara lustrum kelima SMA Negeri 1 Tegal, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1983. Pada saat itu ia menyajikan pakeliran ringkas selama 4 jam dengan lakon Gatutkaca Winisudha, yang diiringi kolaborasi karawitan dan band oleh rekan-rekan SMA-nya. Ia menekuni pedalangan sebagai profesi karena terpaksa harus menggantikan peran ayahnya yang telah meninggal dunia pada 10 Februari 1984. saat itu ayahnya banyak meninggalkan job pentas yang belum sempat dilaksanakan, sementara uang muka sudah terlanjur diterima oleh ibunya. Oleh karena itu dengan berbekal keberanian ia menggantikan peran ayahnya sebagai dalang wayang golek. Sejak itu profesi sebagai dalang merupakan penyangga kebutuhan hidup bersama ibunya. Oleh karena itu ia mulai giat berlatih dan mencari kiat-kiat yang belum pernah ditampilkan dalam pakeliran wayang kulit maupun golek.
Pada tahun 1984 ia mengikuti lomba pakeliran padat dalang remaja se-Jawa Tengah di Klaten, sebagai wakil Kabupaten Tegal, dengan menyajikan lakon Brajadenta mBalela. Dalam lomba tersebut ia hanya mampu meraih Juara harapan II. Namun demikian kegagalannya itu tidak membunuh keinginanya menjadi dalang, sebaiknya justru sebagai peringatan untuk lebih giat berlatih. Ia menjadi semakin aktif datang ke kampus ASKI Surakarta serta minta saran, pendapat, bahkan contoh-contoh teknik pakeliran yang baik kepada Ki Manteb Soedarsono.
Mengembara
Setelah lulus SMA Enthus tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak mempunyai biaya. Pada saat itu keluarganya hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sesuai dengan harapan almarhum ayahnya, ia mendaftarkan diri menjadi polisi. Namun tidak diterima karena ia dianggap tidak bersih lingkungan; pada waktu itu kakak sulungnya, darjoprayitno, baru bebas dari Nusakambangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja menjadi penyiar selkaligus penata musik dan pemain teater di RSPD Tegal merangkap sebagai penyiar radio Anita Tegal. Namun ternyata hal tersebut belum mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu ia mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh. Natah dan nyungging wayang golek di berbagai tempat dalang wayang golek yang memerlukan jasanya.
Untuk memperbaiki kehidupannya, pada setiap malam ia selalu menyempatkan diri untuk belajar Alqur’an dan berdiskusi tentang ilmu agama. Disamping itu ia juga sering meminta bimbingan para kyai di berbagai pondok pesantren.
Mulai Terkenal
Pada tahun 1988 ia mengikuti lagi lomba pakeliran padat se-Jawa Tengah, dengan menyajikan lakon Ciptoning karya Bambang suwarno. Dalam lomba tersebut ia berhasil meraih Juara I sekaligus dalang Favorit. Keberhasilannya meraih juara pada lomba pakeliran padat etrsebut mampu mengangkat namanya ke lingkup yang lebih lus, kemampuannya sebagai dalang wayang kulit menjadi dikenal masyarakat terutama di wilayah pantai utara Jawa Tengah.
Ketika karier pedalangan Ki Manteb Soedarsono mulai dikenal dikalangan yang lebih luas dan menempati posisi sejajar dengan Ki Anom Suroto, Enthus Susmono berupaya dapat meniru berbagai aspek pakelirannya. Maka setiap Manteb Soedarsono pentas selalu dilihat dan diperhatikan. Hampir semua aspek pakeliran khas manteb Soedarsono, baik sabet, gaya bahasa bahwan warna suara, ditirunya semirip mungkin. Khusus sabet yang menggarap aspek bayangan, banyak mengacu pada gaya sabet bambang suwarno (dosen STSI Surakarta) yang dikenal dengan sabet pakeliran padat, sedangkan sabet peperangan mengacu gaya sabet Ki Mulyanto mangkudarsono (Sragen) yang lebih dikenal dengan sabet gaya Sragenan. Namun demikian bagi Enthus Susmono, hanya bambang Suwarno dan Manteb Soedarsono yang dianggap sebagai guru serba paling besar pengaruhnya terhadap nuansa pakelirannya. Bahkan model figur-figur wayangnya pun, terutama wayang-wayang desain baru banyak mengacu dari figur-figur wayang karya bambang Suwarno dan Manteb Soedarsono. Model figur-figur kayon mengacu dari karya dan koleksi bambang Suwarno, sedangkan model wayang setanan dan para raksasa mengacu dari koleksi Manteb Soedarsono.
Perkawinan
Pada tahun 1990 ia kawin dengan gadis pilihannya sendiri, Romiyati, menurunkan dua anak laki-laki: Firman Jendra Satria dan Firman Haryo Susilo. Mereka menempati rumah peninggalan ayahnya, Soemarjadihardja, di Desa Damyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Namun perkawinannya tersebut hanya berjalan lima tahun. Setelah dua tahun menduda, pada tahun 1997 ia kawin dengan Nurlaela, anak perempuan Sukiman Tamid, guru spiritualnya. Perkawinannya itu tanpa diawali proses pacaran sebagaimana layaknya orang akan berumah tangga. Ia mempunyai konsep bahwa cinta akan tumbuh seiring waktu berjalan. Perkawinannya yang kedua itu menurunkan seorang anak perempuan bernama firman Nurjannah, bahkan saat ini istrinya sedang mengandung anak kedua. Mereka tinggal serumah dengan Sukiman Tamid, di jalan Prajasumarta II, Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal.
Kariernya sebagai dalang mulai menanjak setelah ia sering tampil dalam pertunjukan wayang kulit dua layar yang diselenggarakan oleh PANTAP dan ditayangkan langsung oleh TVRI Stasiun Semarang dari halaman kantor Sekwilda Jawa Tengah di Semarang (1994-1998)
Desainer wayang
Perhatiannya pada sarana utama pakeliran (wayang0 cukup besar. Ia tidak cukup puas dengan figur-figur wayang yang sudah ada, sehingga berusaha mengembangkan figur wayang tradisi dan atau menciptakan desain baru. Penciptaan tokoh-tokoh masa kini dalam wayangnya adalah salah satu upaya untuk memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebab tokoh-tokoh pewayangan seperti Werkudara, Gatutkaca, dan Arjuna mulai terdesak oleh ahdirnya tokoh-tokoh fiktif dari luar budaya Nusantara seperti supermen, Doraemon, Ninja Boy, dan Shinchan. Dengan diciptakan tokoh-tokoh fiktif masa kini dalam bentuk wayang kulit, maka anak-anak akan senang melihat wayang dan setelah itu mereka baru digiring penghayatannya pada karakteristik wayang yang sesungguhnya.
Wayang-wayang baru kreasinyanya tersebut digambar sendri sedangkan pemahatannta dan pewarnaannya dibantu oleh tiga orang penatah dan empat orang penyungging, yang berasal dari daerah Sukoharjo dan Klaten. Sampai saat ini ia telah menyelesaikan hampir 100 buah wayang kreasi serta memiliki sebelas kothak wayang dengan berbagai gaya dan tipe, wayang kulit gaya Kedu, wayang Kulit gaya Cirebon, dan wayang golek Cepak. Wayang-wayang produksinya itu disamping untuk emmenuhi kebutuhan pentas juga sebagai barang dagangan. Diantara karya-karyanya antara lain :
1. Kayon Ganesha 1998
2. Kayon hawa Bayu 1999
3. Kayon Masjid 2000
4. Kayon ganesha Kecil 2000
5. Kayon Liong 2000
6. Kayon Loteng 2001
7. Supermen 1996
8. Gathutkaca Terbang 1996
9. Batman 1996
10. Satria Baja Hitam 1996
11. Sumo 1996
12. Alien 1998
13. Dasamuka 1998
14. Indrajid 1998
15. Patih dan Tumenggung 1998
16. Panakawan Planet 1999
17. Yuyu Rumpung 1999
18. Kreta Jaladara 1999
19. Kreta Jatisura 1999
20. Liong 1999
21. Limbuk dan Suaminya 1999
22. Baris Kampak 1999
23. Ampyak Jaran 2000
24. Osama Bin Laden 2001
25. George Bush 2001
26. Panakawan Teletubbies 2001
27. Togog dan Bilung 2002
28. Pandawa 2002
29. Pendhita Wungkuk 2002
30. Bathara kala 2002
31. Kayon Planet
Tetap mengkritik dan Urakan
Unthus Susmono sebagai dalang sangat sadar bahwa kemampuan pedalangannya diutamakan untuk sumber kehidupannya. Oleh karena itu ia tidak pernah menolak untuk diundang pentas siapapun dan golongan atau partai apa pun. Meskipun demikian ia tetap konsisten pada misinya, yakni sebagai pengontrol sosial, sehingga ia tetap menyampaikan kritik kepada siapapun, baik eksekutif, legislatif , pejabat partai, maupun masyarakat umum. Selain itu gaya urakan tetap dipertahankan sebagai khs pedalangnannya, meskipun hal itu sering mendapat hujatan dari berbagai pihak.
Sejak berumur 5 tahun ia telah sering mengikuti pentas ayahnya. Oleh karena itu ia sangat akrab dengan dunia pedalangan.
Kesukaannya menggambar, menatah dan mewarnai (nyungging) wayang kulit menghasilkan karya pertama tokoh Indrajid, yang dikerjakan pada saat ia duduk di kelas IV SD. Setelah sekolah di SMP Negeri 1 Tegal (1979-1981) ia mulai menekuni karawitan secara metodik, yang diasuh oleh dua orang guru keseniannya, Mawardi dan Prasetyo. Ketrampilannya menabuh gamelan itu kemudian digunakan untuk melatih rekan-rekan di SMA Negeri 1 Tegal (1982-1985), yang semula tidak pernah mendapat kegiatan ekstrakurikuler karawitan karena tidak mempunyai grup musik yang merupakan kolaborasi antara karawitan dan band.
Kemampuan pedalangannya tidak didapat dari lembaga pendidikan formal seperti SMKI, kursus pedalangan, maupun pelajaran ayahnya, tetapi karena ia sering mengikuti pentas ayahnya dan jeli mengamati sajian pakeliran para dalang lain. Hampir setiap ada pertunjukan wayang di daerahnya selalu disaksikan. Selain itu ia juga berlatih secara serius kepada Sugino Siswotjarito (Banyumas) dan Ki Gunawan Suwati (Slawi), aktif mendengarkan kaset komersial rekaman pakeliran Ki Nartosabdo (Semarang) dan Ki anom suroto (Surakarta), serta sering menyaksikan para dosen ASKI Surakarta yang sedang memberikan materi kuliah praktik pedalangan di Kampus ASKI, Sasonomulyo Keraton Surakarta (1982-1983)
Keinginan tampil sebagai dalang wayang kulit purwa tidak dapat dicegah ketika kelas dua SMA, di sekolahnya ada acara lustrum kelima SMA Negeri 1 Tegal, yang dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 1983. Pada saat itu ia menyajikan pakeliran ringkas selama 4 jam dengan lakon Gatutkaca Winisudha, yang diiringi kolaborasi karawitan dan band oleh rekan-rekan SMA-nya. Ia menekuni pedalangan sebagai profesi karena terpaksa harus menggantikan peran ayahnya yang telah meninggal dunia pada 10 Februari 1984. saat itu ayahnya banyak meninggalkan job pentas yang belum sempat dilaksanakan, sementara uang muka sudah terlanjur diterima oleh ibunya. Oleh karena itu dengan berbekal keberanian ia menggantikan peran ayahnya sebagai dalang wayang golek. Sejak itu profesi sebagai dalang merupakan penyangga kebutuhan hidup bersama ibunya. Oleh karena itu ia mulai giat berlatih dan mencari kiat-kiat yang belum pernah ditampilkan dalam pakeliran wayang kulit maupun golek.
Pada tahun 1984 ia mengikuti lomba pakeliran padat dalang remaja se-Jawa Tengah di Klaten, sebagai wakil Kabupaten Tegal, dengan menyajikan lakon Brajadenta mBalela. Dalam lomba tersebut ia hanya mampu meraih Juara harapan II. Namun demikian kegagalannya itu tidak membunuh keinginanya menjadi dalang, sebaiknya justru sebagai peringatan untuk lebih giat berlatih. Ia menjadi semakin aktif datang ke kampus ASKI Surakarta serta minta saran, pendapat, bahkan contoh-contoh teknik pakeliran yang baik kepada Ki Manteb Soedarsono.
Mengembara
Setelah lulus SMA Enthus tidak dapat melanjutkan kuliah karena tidak mempunyai biaya. Pada saat itu keluarganya hidup dibawah garis kemiskinan. Oleh karena itu agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sesuai dengan harapan almarhum ayahnya, ia mendaftarkan diri menjadi polisi. Namun tidak diterima karena ia dianggap tidak bersih lingkungan; pada waktu itu kakak sulungnya, darjoprayitno, baru bebas dari Nusakambangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja menjadi penyiar selkaligus penata musik dan pemain teater di RSPD Tegal merangkap sebagai penyiar radio Anita Tegal. Namun ternyata hal tersebut belum mencukupi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu ia mencari pekerjaan tambahan sebagai buruh. Natah dan nyungging wayang golek di berbagai tempat dalang wayang golek yang memerlukan jasanya.
Untuk memperbaiki kehidupannya, pada setiap malam ia selalu menyempatkan diri untuk belajar Alqur’an dan berdiskusi tentang ilmu agama. Disamping itu ia juga sering meminta bimbingan para kyai di berbagai pondok pesantren.
Mulai Terkenal
Pada tahun 1988 ia mengikuti lagi lomba pakeliran padat se-Jawa Tengah, dengan menyajikan lakon Ciptoning karya Bambang suwarno. Dalam lomba tersebut ia berhasil meraih Juara I sekaligus dalang Favorit. Keberhasilannya meraih juara pada lomba pakeliran padat etrsebut mampu mengangkat namanya ke lingkup yang lebih lus, kemampuannya sebagai dalang wayang kulit menjadi dikenal masyarakat terutama di wilayah pantai utara Jawa Tengah.
Ketika karier pedalangan Ki Manteb Soedarsono mulai dikenal dikalangan yang lebih luas dan menempati posisi sejajar dengan Ki Anom Suroto, Enthus Susmono berupaya dapat meniru berbagai aspek pakelirannya. Maka setiap Manteb Soedarsono pentas selalu dilihat dan diperhatikan. Hampir semua aspek pakeliran khas manteb Soedarsono, baik sabet, gaya bahasa bahwan warna suara, ditirunya semirip mungkin. Khusus sabet yang menggarap aspek bayangan, banyak mengacu pada gaya sabet bambang suwarno (dosen STSI Surakarta) yang dikenal dengan sabet pakeliran padat, sedangkan sabet peperangan mengacu gaya sabet Ki Mulyanto mangkudarsono (Sragen) yang lebih dikenal dengan sabet gaya Sragenan. Namun demikian bagi Enthus Susmono, hanya bambang Suwarno dan Manteb Soedarsono yang dianggap sebagai guru serba paling besar pengaruhnya terhadap nuansa pakelirannya. Bahkan model figur-figur wayangnya pun, terutama wayang-wayang desain baru banyak mengacu dari figur-figur wayang karya bambang Suwarno dan Manteb Soedarsono. Model figur-figur kayon mengacu dari karya dan koleksi bambang Suwarno, sedangkan model wayang setanan dan para raksasa mengacu dari koleksi Manteb Soedarsono.
Perkawinan
Pada tahun 1990 ia kawin dengan gadis pilihannya sendiri, Romiyati, menurunkan dua anak laki-laki: Firman Jendra Satria dan Firman Haryo Susilo. Mereka menempati rumah peninggalan ayahnya, Soemarjadihardja, di Desa Damyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Namun perkawinannya tersebut hanya berjalan lima tahun. Setelah dua tahun menduda, pada tahun 1997 ia kawin dengan Nurlaela, anak perempuan Sukiman Tamid, guru spiritualnya. Perkawinannya itu tanpa diawali proses pacaran sebagaimana layaknya orang akan berumah tangga. Ia mempunyai konsep bahwa cinta akan tumbuh seiring waktu berjalan. Perkawinannya yang kedua itu menurunkan seorang anak perempuan bernama firman Nurjannah, bahkan saat ini istrinya sedang mengandung anak kedua. Mereka tinggal serumah dengan Sukiman Tamid, di jalan Prajasumarta II, Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal.
Kariernya sebagai dalang mulai menanjak setelah ia sering tampil dalam pertunjukan wayang kulit dua layar yang diselenggarakan oleh PANTAP dan ditayangkan langsung oleh TVRI Stasiun Semarang dari halaman kantor Sekwilda Jawa Tengah di Semarang (1994-1998)
Desainer wayang
Perhatiannya pada sarana utama pakeliran (wayang0 cukup besar. Ia tidak cukup puas dengan figur-figur wayang yang sudah ada, sehingga berusaha mengembangkan figur wayang tradisi dan atau menciptakan desain baru. Penciptaan tokoh-tokoh masa kini dalam wayangnya adalah salah satu upaya untuk memperkenalkan wayang pada generasi muda. Sebab tokoh-tokoh pewayangan seperti Werkudara, Gatutkaca, dan Arjuna mulai terdesak oleh ahdirnya tokoh-tokoh fiktif dari luar budaya Nusantara seperti supermen, Doraemon, Ninja Boy, dan Shinchan. Dengan diciptakan tokoh-tokoh fiktif masa kini dalam bentuk wayang kulit, maka anak-anak akan senang melihat wayang dan setelah itu mereka baru digiring penghayatannya pada karakteristik wayang yang sesungguhnya.
Wayang-wayang baru kreasinyanya tersebut digambar sendri sedangkan pemahatannta dan pewarnaannya dibantu oleh tiga orang penatah dan empat orang penyungging, yang berasal dari daerah Sukoharjo dan Klaten. Sampai saat ini ia telah menyelesaikan hampir 100 buah wayang kreasi serta memiliki sebelas kothak wayang dengan berbagai gaya dan tipe, wayang kulit gaya Kedu, wayang Kulit gaya Cirebon, dan wayang golek Cepak. Wayang-wayang produksinya itu disamping untuk emmenuhi kebutuhan pentas juga sebagai barang dagangan. Diantara karya-karyanya antara lain :
1. Kayon Ganesha 1998
2. Kayon hawa Bayu 1999
3. Kayon Masjid 2000
4. Kayon ganesha Kecil 2000
5. Kayon Liong 2000
6. Kayon Loteng 2001
7. Supermen 1996
8. Gathutkaca Terbang 1996
9. Batman 1996
10. Satria Baja Hitam 1996
11. Sumo 1996
12. Alien 1998
13. Dasamuka 1998
14. Indrajid 1998
15. Patih dan Tumenggung 1998
16. Panakawan Planet 1999
17. Yuyu Rumpung 1999
18. Kreta Jaladara 1999
19. Kreta Jatisura 1999
20. Liong 1999
21. Limbuk dan Suaminya 1999
22. Baris Kampak 1999
23. Ampyak Jaran 2000
24. Osama Bin Laden 2001
25. George Bush 2001
26. Panakawan Teletubbies 2001
27. Togog dan Bilung 2002
28. Pandawa 2002
29. Pendhita Wungkuk 2002
30. Bathara kala 2002
31. Kayon Planet
Tetap mengkritik dan Urakan
Unthus Susmono sebagai dalang sangat sadar bahwa kemampuan pedalangannya diutamakan untuk sumber kehidupannya. Oleh karena itu ia tidak pernah menolak untuk diundang pentas siapapun dan golongan atau partai apa pun. Meskipun demikian ia tetap konsisten pada misinya, yakni sebagai pengontrol sosial, sehingga ia tetap menyampaikan kritik kepada siapapun, baik eksekutif, legislatif , pejabat partai, maupun masyarakat umum. Selain itu gaya urakan tetap dipertahankan sebagai khs pedalangnannya, meskipun hal itu sering mendapat hujatan dari berbagai pihak.
Belum ada Komentar untuk "Ki Enthus Soesmono"
Posting Komentar