Fenomena Kehidupan Jawa
4 Jun 2011 Tulis Komentar
Mejadi fenomena tersendiri bagi sebagian besar Suku Jawa di Indonesia dalam menjalani kehidupan sehari-sehari yang senantiasa berjalan seiring pengaruh globalisasi dibidang ekonomi , social dan budaya. Orang di pulau jawa yang hingga kini masih mengakui kejawaanya misalnya didaerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walau di Jawa Timur sendiri terdiri dari berbagai suku misalnya Suku Madura yang banyak tinggal di Pulau Madura, di Surabaya, Lumajang, dan di Jember. Sedangkan Suku Tengger yang hanya tinggal di Pegunungan Tengger dan Bromo , Suku Samin di pedalaman Pegunungan Kendeng. Kedua suku terakhir agak sulit tersentuh dengan teknologi dan gaya hidup masa kini tapi tidak juga dikatakan Primitif. Tidak ada penjelasan dan penelitian yang jelas tentang keterangan bahwa Suku Samin adalah keluarga Suku Badui yang banyak hidup di Jawa Barat.
Pola hidup Suku Jawa yang bisa beradaptasi mengikuti perkembangan jaman membuat beberapa dampak baik positif maupun negative. Dalam sejarah Indonesia tidak diketemukan semacam Restorasi Meiji seperti di Jepang. Masyarakat jawa hidup lebih banyak belajar dari gaya hidup bangsawan kerajaan, belajar dari para cendekiawan, belajar dari ajaran para pahlawan, dan belajar dari penderitaan alam penjajahan kolonialisme, belajar dari bertapa dan mendapatkan semacam “wangsit”, Kaisar Meiji mendapatkan wangsit untuk memasukkan ajaran teknologi dalam kurikulum hidup budaya jepang kemudian “kebijakannya itu “ tidak akan ada yang membantah karena dianggap anak dewa oleh rakyatnya. Sedangkan orang jawa sejak dari leluhurnya belajar untuk tidak menyembah berhala dan memberhalakan manusia, melainkan mengenal diri dan mengenal tuhannya sehingga akhirnya membangkitkan kesadaran secara bersama-sama dan kolektif sehingga sangat sulit mencari “ induk suku jawa” yang kemudian bisa dikemudikan oleh penjajah. Inilah sebabnya tidak diketahui siapa awal yang merestorasi kehidupan jawa hingga seperti ini.
Dalam budaya jawa seorang lelaki adalah pemimpin , keberhasilan seorang pemimpin didalam rumah tangganya dikatakan berhasil bila mempunyai 4 pegangan yaitu:
1. Pusaka: lambangnya seorang lelaki harus mempunyai senjata misalnya keris yaitu umumya berbentuk senjata penusuk terbuat dari logam batu meteor/baja kuno panjangnya sekitar 5 cm hingga 60 cm berkelok-kelok (ber-luk) antara 3-13 luk, atau senjata tombak. Secara makna/pengertiannya lelaki harus berpengetahuan teknologi atau pengetahuan , berketrampilan, berkemampuan kecil atau besar yang bisa diandalkan ( perfect kompeten) dibidangnya baik berijazah/bersertifikat maupun tanpa sertifikat yang berguna menjadi sumber penghasilan dalam keluarganya.
2. Garwa: lambangnya adalah istri,(Sigarane nyowo) bahwa seorang lelaki harus beristri disamping melambangkan kelelakiannya juga mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, dalam arti maknanya seorang lelaki walau tanpa isteri harus menjunjung tinggi jasa dan pengorbanan seorang ibu yang melahirkannya didunia. Dalam masyarakat jawa seorang ibu yang baik di anggap keramat yang tinggi seperti penghormatan pada tuhan.
3. Griya: lambangnya adalah rumah atau tempat tinggal, artinya seorang lelaki harus menjadi pelindung bagi anak dan istrinya, berpenghasilan yang aman walau tidak tetap. Melindungi keluarga dari segala gangguan.
4. Turangga: lambangnya adalah kuda/kendaraan transportasi artinya adalah dalam menjalani kehidupan pasti datangnya banyak masalah, seorang pemimpin harus mempunyai daya analisis pemecahan masalah yang cermat, tepat dengan hasil yang bagus dan resiko yang kecil hingga dihasilkan keputusan yang benar – benar tidak merugikan atau hanya berharap kerugian yang kecil.
Ada banyak ajaran dari budaya seorang manusia jawa yang telah berhasil dalam hidupnya adalah bila telah mampu membersihkan hatinya yang berarti telah menjalani ilmu kasampurnaan , bila hati telah bersih dari niat jahat maka pikiran, ucapan dan berbuatan juga telah hindar dari kejahatan, dalam pepatah jawa “ Kamulyaning Hurip Dumunung Hing Ati” yang artinya kemulyaan/kebahagiaan/prestasi jati diri hidup berada dalam hati. Seiring dengan kondisi jaman kadang masyarakat jawa juga banyak yang lupa bahwa indicator hidup berhasil adalah karena kecantikanya, karena saktinya, karena jumlah pabriknya, karena kekayaanya, karena kepandaiannya, karena banyak anaknya banyak rejekinya dll.
Pola hidup Suku Jawa yang bisa beradaptasi mengikuti perkembangan jaman membuat beberapa dampak baik positif maupun negative. Dalam sejarah Indonesia tidak diketemukan semacam Restorasi Meiji seperti di Jepang. Masyarakat jawa hidup lebih banyak belajar dari gaya hidup bangsawan kerajaan, belajar dari para cendekiawan, belajar dari ajaran para pahlawan, dan belajar dari penderitaan alam penjajahan kolonialisme, belajar dari bertapa dan mendapatkan semacam “wangsit”, Kaisar Meiji mendapatkan wangsit untuk memasukkan ajaran teknologi dalam kurikulum hidup budaya jepang kemudian “kebijakannya itu “ tidak akan ada yang membantah karena dianggap anak dewa oleh rakyatnya. Sedangkan orang jawa sejak dari leluhurnya belajar untuk tidak menyembah berhala dan memberhalakan manusia, melainkan mengenal diri dan mengenal tuhannya sehingga akhirnya membangkitkan kesadaran secara bersama-sama dan kolektif sehingga sangat sulit mencari “ induk suku jawa” yang kemudian bisa dikemudikan oleh penjajah. Inilah sebabnya tidak diketahui siapa awal yang merestorasi kehidupan jawa hingga seperti ini.
Dalam budaya jawa seorang lelaki adalah pemimpin , keberhasilan seorang pemimpin didalam rumah tangganya dikatakan berhasil bila mempunyai 4 pegangan yaitu:
1. Pusaka: lambangnya seorang lelaki harus mempunyai senjata misalnya keris yaitu umumya berbentuk senjata penusuk terbuat dari logam batu meteor/baja kuno panjangnya sekitar 5 cm hingga 60 cm berkelok-kelok (ber-luk) antara 3-13 luk, atau senjata tombak. Secara makna/pengertiannya lelaki harus berpengetahuan teknologi atau pengetahuan , berketrampilan, berkemampuan kecil atau besar yang bisa diandalkan ( perfect kompeten) dibidangnya baik berijazah/bersertifikat maupun tanpa sertifikat yang berguna menjadi sumber penghasilan dalam keluarganya.
2. Garwa: lambangnya adalah istri,(Sigarane nyowo) bahwa seorang lelaki harus beristri disamping melambangkan kelelakiannya juga mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, dalam arti maknanya seorang lelaki walau tanpa isteri harus menjunjung tinggi jasa dan pengorbanan seorang ibu yang melahirkannya didunia. Dalam masyarakat jawa seorang ibu yang baik di anggap keramat yang tinggi seperti penghormatan pada tuhan.
3. Griya: lambangnya adalah rumah atau tempat tinggal, artinya seorang lelaki harus menjadi pelindung bagi anak dan istrinya, berpenghasilan yang aman walau tidak tetap. Melindungi keluarga dari segala gangguan.
4. Turangga: lambangnya adalah kuda/kendaraan transportasi artinya adalah dalam menjalani kehidupan pasti datangnya banyak masalah, seorang pemimpin harus mempunyai daya analisis pemecahan masalah yang cermat, tepat dengan hasil yang bagus dan resiko yang kecil hingga dihasilkan keputusan yang benar – benar tidak merugikan atau hanya berharap kerugian yang kecil.
Ada banyak ajaran dari budaya seorang manusia jawa yang telah berhasil dalam hidupnya adalah bila telah mampu membersihkan hatinya yang berarti telah menjalani ilmu kasampurnaan , bila hati telah bersih dari niat jahat maka pikiran, ucapan dan berbuatan juga telah hindar dari kejahatan, dalam pepatah jawa “ Kamulyaning Hurip Dumunung Hing Ati” yang artinya kemulyaan/kebahagiaan/prestasi jati diri hidup berada dalam hati. Seiring dengan kondisi jaman kadang masyarakat jawa juga banyak yang lupa bahwa indicator hidup berhasil adalah karena kecantikanya, karena saktinya, karena jumlah pabriknya, karena kekayaanya, karena kepandaiannya, karena banyak anaknya banyak rejekinya dll.
Belum ada Komentar untuk "Fenomena Kehidupan Jawa"
Posting Komentar