Keintiman ISLAM Dengan Buruh
21 Okt 2010 Tulis Komentar
Dalam tradisi Indonesia, setidaknya terdapat empat omen yang mampu menggambarkan kemalangan buruh. Pertama, saat jatuh tangga 1 Mei yang diperingati sebagai hari Buruh se-Dunia (May Day). Kedua, menjelang kedatangan Hari Raya Idul Fitri seiring dengan repotnya pencairan Tunjangan Hari Raya (THR). Ketiga, saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang selalu dibarengi dengan repotnya (mantan) buruh mendapatkan pesangon. Sementara yang terakhir, adalah menjelang pergantian tahun baru yang berbarengan dengan penetapan Upah Minimum Regional (UMR) sebagaimana yang terjadi bulan-bulan terakhir ini.
Keempatnya selalu mencerminkan betapa buruh, yang seringkali disanjung sebagai pahlawan, belum diberlakukan secara layak. Bagi masyarakat Indonesia yang agamis, kemalangan buruh ini seyogyanya menggugah agamawan, lebih-lebih yang berafiliasi Islam, untuk “campur tangan” memberikan pembelaan. Keterlibatan ini semakin urgen mengingat mayoritas warga yang berkubang dalam sektor ini adalah umat Islam. Agama sebagai sumber makna tentu mempunyai peran yang fundamental karena kehadirannya memang tidak hanya menyuruh umatnya menjalankan ibadah formal di tempat-tempat peribadatan, melainkan juga mengajak untuk memainkan peran kemanusiaan secara luas.
Ketidakadilan yang begitu nyata ini seharusnya mendorong agamawan untuk menggalakkan dakwah dalam bentuk perjuangan menegakkan keadilan bagi kelompok marginal yang “disistematiskan” oleh kekuatan hegemoni negara dan pasar itu. Apalagi (per)buruh(an) adalah masalah yang sangat dekat dengan pembawa risalah Islam, agama mayoritas dipeluk penduduk Jatim. Dalam tataran historis maupun teologis, Nabi Muhammad adalah seorang yang sangat memperhatikan nasib kaum mustadl'afien tersebut.
Keintiman sejarah Islam dengan buruh secara mudah bisa dilihat dari perjalanan Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Nabi adalah orang yang dipercaya oleh penduduk Mekah untuk mengembalakan kambing mereka. Menginjak dewasa, Nabi pun tetap akrab dengan pekerjaan buruh, dengan profesinya sebagai pembantu saudagar Khadijah, untuk memasarkan dagangannya di luar daerah.
Sejarah mencatat, sebagai seorang buruh, Nabi melakukan pekerjaannya dengan penuh komitmen, kejujuran, talenta, dan skill marketing yang luar biasa. Keuletannya dalam berdagang berdampak pada bertambahnya keuntungan yang didapat majikan, sehingga Khadijah pun membalasnya dengan insentif yang lebih. Bukan hanya dalam bentuk harta, bahkan Nabi juga dipinang untuk dijadikan pendamping hidupnya dengan mahar yang luar biasa besarnya.
Tidak jauh beda saat masih muda, Muhammad tetap memperhatikan nasib buruh ketika sedang berada di puncak kekuasaan. Saat didaulat oleh penduduk Muhajirin dan Anshar sebagai pemimpin negara-kota Madinah, Nabi tetap tidak menafikan eksistensi kaum buruh sebagai penyangga perekonomian. Keterpihakan terhadap kaum proletar ini bisa dilacak dari sabdanya yang cukup familiar, u’thu al-ajiir ajrah qabla an yajiff 'irquh, bayarlah gaji buruh sebelum keringatnya kering.(Aley Kurnia)
Keempatnya selalu mencerminkan betapa buruh, yang seringkali disanjung sebagai pahlawan, belum diberlakukan secara layak. Bagi masyarakat Indonesia yang agamis, kemalangan buruh ini seyogyanya menggugah agamawan, lebih-lebih yang berafiliasi Islam, untuk “campur tangan” memberikan pembelaan. Keterlibatan ini semakin urgen mengingat mayoritas warga yang berkubang dalam sektor ini adalah umat Islam. Agama sebagai sumber makna tentu mempunyai peran yang fundamental karena kehadirannya memang tidak hanya menyuruh umatnya menjalankan ibadah formal di tempat-tempat peribadatan, melainkan juga mengajak untuk memainkan peran kemanusiaan secara luas.
Ketidakadilan yang begitu nyata ini seharusnya mendorong agamawan untuk menggalakkan dakwah dalam bentuk perjuangan menegakkan keadilan bagi kelompok marginal yang “disistematiskan” oleh kekuatan hegemoni negara dan pasar itu. Apalagi (per)buruh(an) adalah masalah yang sangat dekat dengan pembawa risalah Islam, agama mayoritas dipeluk penduduk Jatim. Dalam tataran historis maupun teologis, Nabi Muhammad adalah seorang yang sangat memperhatikan nasib kaum mustadl'afien tersebut.
Keintiman sejarah Islam dengan buruh secara mudah bisa dilihat dari perjalanan Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul. Sejak kecil hingga menginjak dewasa, Nabi adalah orang yang dipercaya oleh penduduk Mekah untuk mengembalakan kambing mereka. Menginjak dewasa, Nabi pun tetap akrab dengan pekerjaan buruh, dengan profesinya sebagai pembantu saudagar Khadijah, untuk memasarkan dagangannya di luar daerah.
Sejarah mencatat, sebagai seorang buruh, Nabi melakukan pekerjaannya dengan penuh komitmen, kejujuran, talenta, dan skill marketing yang luar biasa. Keuletannya dalam berdagang berdampak pada bertambahnya keuntungan yang didapat majikan, sehingga Khadijah pun membalasnya dengan insentif yang lebih. Bukan hanya dalam bentuk harta, bahkan Nabi juga dipinang untuk dijadikan pendamping hidupnya dengan mahar yang luar biasa besarnya.
Tidak jauh beda saat masih muda, Muhammad tetap memperhatikan nasib buruh ketika sedang berada di puncak kekuasaan. Saat didaulat oleh penduduk Muhajirin dan Anshar sebagai pemimpin negara-kota Madinah, Nabi tetap tidak menafikan eksistensi kaum buruh sebagai penyangga perekonomian. Keterpihakan terhadap kaum proletar ini bisa dilacak dari sabdanya yang cukup familiar, u’thu al-ajiir ajrah qabla an yajiff 'irquh, bayarlah gaji buruh sebelum keringatnya kering.(Aley Kurnia)
Belum ada Komentar untuk "Keintiman ISLAM Dengan Buruh"
Posting Komentar